Remdesivir, yang digadang-gadang sebagai obat yang potensial untuk COVID19 ternyata tidak memiliki dampak yang signifikan dibandingkan dengan placebo. Berdasarkan jurnal yang diterbirkan oleh The Lancet (1), menyebutkan bahwa hasil uji pertama pada 237 pasien tidak menunjukkan dampak yang signifikan antara pasien yang diberi remdesivir dengan pasien yang menerima obat tanpa bahan aktif (plasebo). Dalam uji klinis ini, 158 pasien yang diterapi dengan remdesivir menghasilkan 14% kematian, dibandingkan dengan placebo yang menghasilkan hampir 13% kematian. Selain itu 11,6% pasien menghentikan terapi karena mengalami efek samping obat, dibandingkan dengan 5% pada kelompok kontrol. Bahkan dilaporkan 102 pasien mengalami efek samping obat dibandingkan dengan 50 pasien yang diterapi dengan plasebo. Hal ini tentu mengejutkan banyak pihak karena Remdesivir (GS-5734) yang merupakan prodrug dari monofosforamidat dikenal sebagai antivirus spektrum luas untuk terapi infeksi virus golongan filovirus, paramyxovirus, pneumovirus, and coronavirus.

Hasil uji in vitro menyebutkan bahwa remdesivir mampu menghambat semua coronavirus pada manusia dan hewan termasuk virus SARS-CoV-2 penyebab COVID19. Remdesivir menjadi penghambat yang potensial untuk replikasi virus SARS-CoV-2 pada sel epitel hidung dan bronkus. Bahkan pada uji in vivo pada monyet yang diinfeksi oleh SARS-CoV-2, pemberian awal remdesivir menunjukkan efek klinik  dan antiviral yang signifikan, ditandai dengan penurunan cairan pada paru-paru dan jumlah titer virus dari hasil pemeriksaan cairan pada bronkus dan alveolus (1). Meskipun demikian, ternyata hasil uji pada manusia memberikan hasil yang berbeda. Hal ini lah yang perlu disadari oleh banyak pihak bahwa obat yang menghasilkan efek yang signifikan pada uji praklinik (uji pada hewan atau sel) belum tentu menghasilkan efek yang sama jika diberikan secara langsung ada manusia. Sekaligus memberi gambaran bahwa obat yang beredar secara resmi dipasaran sebenarnya melalui tahapan yang panjang, mahal dan melelahkan untuk dapat dirilis secara resmi sebagai obat dengan klaim “mengobati” atau “menyembuhkan” penyakit tertentu. Hal ini karena obat yang akan dirilis di pasaran harus melewati beberapa tahap uji berikut:

  1. Uji praklinik.

Pengujian ini dilakukan untuk “kandidat” obat untuk memperoleh informasi tentang efek farmakologi, profil farmakokinetik dan toksisitas dari “kandidat” obat. Uji praklinik dibagi menjadi 2 jenis yakni uji invitro dan in vivo. Uji in vitro adalah pengujian “kandidat” obat diluar tubuh makhluk hidup. Pengujian ini dilakukan pada kultur bakteri, sel terisolasi atau organ terisolasi. Jika hasilnya positif, kan dilanjutkan dengan uji in vivo yakni pengujian pada makhluk hidup (hewan) (2). Hewan yang digunakan adalah hewan yang diketahui genetiknya atau dikenal dengan galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmut, babi, anjing atau primata. Melalui pengujian ini akan bisa diprediksi efek penggunaan obat pada manusia terutama terkait efek toksik yang dihasilkan. Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi  efek samping obat akibat konsumsi jangka pendek dan jangka panjang, kerusakan atau mutase genetik (genotoksisitas atau mutagenisitas), pertumbuhan sel kanker (karsinogenisitas) dan kecacatan pada janin (teratogenisitas). Selain toksisitas, pengujian pada hewan juga dilakukan untuk mempelajari nasib obat dalam tubuh (farmakokinetik) “kandidat” obat yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil pengujian pada hewan tersebut menjadi bahan evaluasi untuk menentukan apakah “kandidat” obat tersebut dapat dilanjutkan dengan uji pada manusia atau tidak (3). Senyawa atau molekul “kandidat” obat yang lolos uji praklinik, maka disebut IND (Investigational New Drug) atau obat baru dalam penelitian selanjutnya akan diuji pada manusia (uji klinik).

  1. Uji Klinik.

Uji klinik merupakan penelitian yang dilakukan pada obat baru yang bertujuan untuk mengevaluasi dampaknya pada Kesehatan manusia. Uji klinik dirancang, dilaksanakan dan dievaluasi secara ketat untuk memastikan keamanan subjek uji.  Pengujian ini baru dapat dilalsanakan setelah melewati uji dulu kelayakan oleh komite etik sesuai Deklarasi Helsinki. Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu :

  1. Fase 0, Fase ini merupakan fase pendahuluan yang dilakukan pada sukarelawan sehat. Fase ini merupakan pendahuluan sebelum fase sebenarnya. Fase ini dilakukan dengan pemberian obat pada dosis yang sangat kecil yang tidak memiliki efek terapi untuk mengetahui apakah sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia (4).
  2. Fase I, Fase ini merupakan fase pengujian yang sesungguhnya. Fase ini berfokus pada aspek keamanan dari obat baru. Fase ini dilakukan pada sukarelawan sehat dalam jumlah kecil berkisar antara 20 – 100 orang (5) untuk mengamati efek samping yang paling sering muncul dan yang paling berbahaya dari obat baru serta untuk mengamati profil farmakokinetik obat pada manusia (4).
  3. Fase II, Fase ini difokuskan untuk mengamati efektivitas obat baru. Obat baru diuji pada pasien dengan kondisi/penyakit tertentu, kemudian diamati efek yang timbul pada penyakit yang diobati. Hal yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial dengan efek samping rendah atau tidak toksik. Pengujian pada fase ini kelompok pasien yang diterapi dengan obat baru biasanya akan dibandingkan dengan kelompok pasien yang diterapi dengan obat lain atau obat tanpa bahan aktif (plasebo) (4). Fase ini juga mengevaluasi keamanan dan efek samping jangka pendek serta mulai dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat (3).
  4. Fase III,Fase ini merupakan fase yang berfokus untuk mengamati keamanan dan efektivitas obat baru pada populasi yang berbeda, dosis yang berbeda dan menggunakan obat baru yang dikombinasikan dengan obat lain dengan melibatkan kelompok besar pasien. Fase ini menilai variabilitas efektivitas obat pada popolasi yang beragam. Setelah melewati uji klinis fase III inilah umumnya banyak obat baru yang ditolak atau tidak layak digunakan. Hingga akhirnya mungkin hanya 1 : 10.000 obat baru yang lolos untuk dipasarkan karena memiliki kelebihan dalam hal efikasi dan keamanan maupun efek samping dan resiko yang lebih kecil dibandingkan obat yang ada. Keputusan untuk menyetujui obat baru untuk dipasarkan dilakukan oleh badan khusus, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia, FDA (Food and Drug Administration) di Amerika Serikat, MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency) di Inggris, EMEA (European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) di negara Eropa lain dan TGA (Therapeutics Good Administration) di Australia. Selanjutnya obat baru yang lolos uji klinis fase III diizinkan untuk diproduksi dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu oleh industri farmasi sebagai legal drug serta dapat diresepkan oleh dokter (3).
  5. Fase IV, Fase ini sebenarnya bukan pengujian yang sesungguhnya, melainkan studi pasca pemasaran (post marketing surveillance) setelah obat disetujui untuk dipasarkan. Fase ini mengamati penggunaan obat pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai usia dan ras yang bertujuan untuk mengevaluasi lebih lanjut tingkat keamanan, efikasi dan kodisi penggunaan yang optimal (6). Setelah hasil studi fase IV dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika membahayakan sebagai contoh dekstroksipropoksifen suatu obat penghilang nyeri yang bahkan sudah digunakan selama 40 ditarik dari perdagangan karena efek kematian akibat overdosis(7), lepirudin suatu obat antikoagulan ditarik dari pasar eropa karena efek samping anafilaksis yang parah (8) dan yang terkini penarikan ranitidin dari pasaran karena tercemar NMDA yang dapat menimbulkan kanker.

Karena syarat yang sangat ketat itulah tidak mudah utuk suatu molekul obat untuk bisa beredar sebagai obat. Hal ini berlaku di negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya. Jangka penemuan obat baru sejak awal ditemukan suatu molekul kimia baru sampai menjadi obat baru yang diijinkan beredar memerlukan waktu kurang 5 – 10 tahun dan total biaya penelitian saat ini mencapai USD 2.870 juta (Rp. 45.920 Trilyun) (9).

Demikianlah petualangan panjang suatu molekul kimia sebelum obat diedarkan ke masyarakat. Dengan biaya yang terus meningkat serta waktu penelitian yang lama, tidaklah mengherankan jika harga obat, terutama obat-obat yang masih dilindungi masa paten, harganya sangatlah mahal. Hal ini tentu demi kebaikan umat manusia itu sendiri, untuk memastikan obat yang dikonsumsi aman, berkhasiat serta jelas identitasnya.

Catatan:

Meski uji klinis fase 2 hasilnya tidak memuaskan, tetapi Gilead Sciences.Inc tetap melanjutkan untuk uji klinis fase III untuk remdesivir dengan model SIMPLE di negara-negara yang memiliki prevalensi COVID19 yang tinggi. Studi mengevaluasi efikasi dan keamanan pemberian remdesivir selama 5 dan 10 hari untuk pasien COVID19 yang parah dengan regimen 200 mg pada hari pertama dan 100 mg pada hari selanjutnya dengan jumlah pasien mencapai 5600 orang yang tersebar pada 180 tempat pengujian diseluruh dunia, meliputi Amerika Serikat, China, Prancis, Jerman, Hongkong, Italia, Jepang, Korea Selatan, Belanda, Singapura, Spanyol, Swedia, Swiss, Taiwan dan Inggris (10).

Sumber:

  1. Wang Y, Zhang D, Du G, Du R, Zhao J, Jin Y, et al. Remdesivir in adults with severe COVID-19: a randomised, double-blind, placebo-controlled, multicentre trial. The Lancet. 2020 Apr;S0140673620310229.
  2. Commissioner O of the. Step 2: Preclinical Research. FDA [Internet]. 2019 Apr 18 [cited 2020 May 2]; Available from: https://www.fda.gov/patients/drug-development-process/step-2-preclinical-research
  3. Priyambodo B. Jalan Panjang Penemuan Obat Baru [Internet]. Bambang Priyambodo’s Weblog. 2014 [cited 2020 May 2]. Available from: https://priyambodo1971.wordpress.com/2014/03/27/jalan-panjang-penemuan-obat-baru/
  4. Clinical trials Questions and Answers [Internet]. [cited 2020 May 2]. Available from: https://www.who.int/news-room/q-a-detail/clinical-trials-questions-and-answers
  5. Commissioner O of the. Step 3: Clinical Research. FDA [Internet]. 2019 Apr 18 [cited 2020 May 2]; Available from: https://www.fda.gov/patients/drug-development-process/step-3-clinical-research
  6. Learn About Clinical Studies – ClinicalTrials.gov [Internet]. [cited 2020 May 2]. Available from: https://clinicaltrials.gov/ct2/about-studies/learn#ClinicalTrials
  7. WHO. Alert_123_Dextropropoxyphene.pdf [Internet]. WHO Newsletter. 2009 [cited 2020 May 2]. Available from: https://www.who.int/medicines/publications/drugalerts/Alert_123_Dextropropoxyphene.pdf?ua=1
  8. Petersen PE. World Health Organization. Organisation Mondiale de la Sante. Community Dent Oral Epidemiol. 2003 Dec;31(6):471–471.
  9. DiMasi JA, Grabowski HG, Hansen RW. Innovation in the pharmaceutical industry: New estimates of R&D costs. J Health Econ. 2016 May;47:20–33.
  10. Gilead Announces Results From Phase 3 Trial of Investigational Antiviral Remdesivir in Patients With Severe COVID-19 [Internet]. [cited 2020 May 2]. Available from: https://www.gilead.com/news-and-press/press-room/press-releases/2020/4/gilead-announces-results-from-phase-3-trial-of-investigational-antiviral-remdesivir-in-patients-with-severe-covid-19.

Penulis: apt. Ardi Nugroho, M.Sc. (Desen Jurusan Farmasi, Universias Islam Indonesia)

Keterbatasan penelitian pada favipiravir adalah tidak dilakukannya dengan randomized double-blinded uji klinis yang dikendalikan plasebo, sehingga dimungkinkan terjadi bias pada seleksi yang tak terhindarkan dalam perekrutan pasien. Namun, mengingat tingginya jumlah pasien yang datang secara bersamaan dan infektivitas penyakit yang sangat tinggi, secara etis tidak memungkinkan untuk mengondisikan pasien menerima obat eksperimental yang berbeda menggunakan proses pengacakan yang tidak mungkin dipahami oleh sebagian besar pasien. Perlu dijelaskan bahwa durasi pengobatan favipiravir dalam uji klinik ini adalah dua kali lebih lama dari yang digunakan untuk pengobatan influenza. Namun, efek samping pada kelompok eksperimen jarang terjadi dan dapat ditoleransi, dan tidak ada pasien yang perlu menghentikan pengobatan favipiravir. Hasil ini tampaknya menunjukkan bahwa durasi pengobatan favipiravir dapat diperpanjang jika perlu.

Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Gao dan rekannya yang menggunakan lebih dari 100 pasien menunjukkan hasil bahwa klorokuin fosfat memberikan efek yang lebih baik dibandingkan kontrol dalam penghambatan eksaserbasi pneumonia dan pertumbuhan virus serta memperpendek perjalanan penyakit. Namun, harus dipertimbangkan dengan hati-hati karena belum tersedia data yang mencukupi untuk mendukung hasil ini. Oleh karena itu interpretasi akhir mengharapkan bahwa tanpa adanya data yang dipublikasikan, sulit untuk mencapai kesimpulan yang pasti. Akan sangat penting untuk mengetahui apakah kemanjuran yang diamati terkait secara spesifik dengan klorokuin atau hidroksiklorokuin dalam bentuk garamnya (fosfat atau sulfat). Selanjutnya juga penting untuk ditentukan apakah manfaat terapi klorokuin tergantung pada klasifikasi usia atau stadium penyakit.

Namun untuk mendapatkan uji klinik yang lengkap tidak hanya cukup menggunakan uji pada pasien tetapi harus mendapatkan informasi yang lengkap berkaitan efek samping yang dimunculkan oleh penggunaan obat ini. Fase ini yang dikenal dengan uji klinik fase ke IV (post marketing survailance).

Strategi terapi yang potensial terhadap COVID-19

Pada awalnya, nebulisasi interferon-α, antibiotik spektrum luas, dan obat anti-virus dapat digunakan untuk mengurangi jumlah virus dalam tubuh, namun, hanya remdesivir yang menunjukkan dampak yang menjanjikan terhadap virus. Remdesivir tunggal dan dalam kombinasinya dengan klorokuin atau interferon beta secara signifikan mampu menghambat replikasi SARS-CoV-2 sehingga pasien dinyatakan sembuh secara klinis. Berbagai anti-virus lain saat ini sedang dievaluasi melawan infeksi diantaranya adalah Nafamostat, Nitazoxanide, Ribavirin, Penciclovir, Favipiravir, Ritonavir, AAK1, Baricitinib, dan Arbidol menunjukkan hasil yang memuaskan ketika diuji terhadap infeksi pada pasien dan isolat klinis in-vitro.

Baru-baru ini di Shanghai, dokter mengisolasi plasma darah dari pasien COVID-19 yang telah pulih secara klinis dan menyuntikkannya pada pasien yang terinfeksi. Hasilnya positif dengan pemulihan yang cepat. Dalam sebuah penelitian baru-baru ini, diidentifikasi bahwa antibodi monoklonal (CR3022) mampu berikatan dengan lokasi pengikatan reseptor dari SARS-CoV-2. CR3022 memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai kandidat terapeutik, baik tunggal atau dalam kombinasi dengan antibodi penawar lain untuk pencegahan dan pengobatan infeksi COVID-19.

Penulis: Dr. apt. Yandi Syukri, S.Si, M.Si. (Dosen Farmasi dan Peneliti pada Nanopharmacy Research Centre Jurusan Farmasi Universitas Islam Indonesia)

Sumber bacaan:

[1]          Y. Duan, H.-L. Zhu, C. Zhou, Drug Discov. Today 2020.

[2]          A. Cortegiani, G. Ingoglia, M. Ippolito, A. Giarratano, S. Einav, J. Crit. Care 2020.

[3]          F. Touret, X. de Lamballerie, Antiviral Res. 2020, 177, 104762.

[4]          M. Adnan Shereen, S. Khan, A. Kazmi, N. Bashir, R. Siddique, J. Adv. Res. 2020.

[5]          Q. Cai, M. Yang, D. Liu, J. Chen, D. Shu, J. Xia, X. Liao, Y. Gu, Q. Cai, Y. Yang, C. Shen, X. Li, L. Peng, D. Huang, J. Zhang, S. Zhang, F. Wang, J. Liu, L. Chen, S. Chen, Z. Wang, Z. Zhang, R. Cao, W. Zhong, Y. Liu, L. Liu, Engineering 2020.

[6]          K. Shiraki, T. Daikoku, Pharmacol. Ther. 2020, 107512.

[7]          C. A. Devaux, J.-M. Rolain, P. Colson, D. Raoult, Int. J. Antimicrob. Agents 2020, 105938.

Wabah caronavirus 2019 (COVID-19) memunculkan penyakit yang ditandai sebagai sindrom pernafasan akut yang parah coronavirus 2 (SARS-CoV-2) dengan karakteristik klinisnya adalah gejala pernapasan, demam, batuk, dispnea, dan pneumonia. Peristiwa ini juga mengungkapkan bahwa SARS-CoV-2 memiliki urutan genom yang 75% -80% identik dengan SARS-CoV, dan memiliki lebih mirip dengan beberapa coronavirus kelelawar.

Apa itu Virus?

Virus adalah mikroorganisme yang dapat menimbulkan sakit (patogen) yang dapat menginfeksi sel makhluk hidup. Virus hanya dapat bereplikasi di dalam sel makhluk hidup karena virus tidak memiliki perlengkapan seluler untuk bereproduksi sendiri. Semua bentuk kehidupan dapat diinfeksi oleh virus, mulai dari hewan, tumbuhan, hingga bakteri dan mikroorganisme bersel satu. Ketika tidak berada di dalam sel atau tidak dalam proses menginfeksi sel, virus berada dalam bentuk partikel bebas (independen) yang disebut virion. Virion terdiri atas materi genetik berupa asam nukleat (DNA atau RNA, tetapi tidak kombinasi keduanya) yang diselubungi lapisan protein yang disebut kapsid. Pada beberapa virus terdapat amplop eksternal yang terbuat dari lipid.

Replikasi merupakan cara virus untuk menginfeksi makhluk hidup dengan tahapan sebagai berikut: (1) pelekatan virus dengan molekul reseptor pada permukaan sel inang, (2) penetrasi, (3) pelepasan mantel, di mana kapsid virus baik seluruhnya maupun sebagian dipindahkan ke dalam sitoplasma sel inang, (4) replikasi genom dan ekspresi gen, (5) pembentukan komponen-komponen virion, (6) pematangan merupakan tahap dari siklus hidup virus dan bersifat infeksius, dan (7) melepaskan diri dari sel inang. Dengan demikian, obat-obatan yang efektif sebagai antivirus adalah yang mampu menghambat proses tahapan replikasi untuk pembentukan virus ini.

Pengenalan coronavirus

Virus-virus dari family coronaviridae memiliki satu untai tunggal (single-strand), RNA positif dan telah diidentifikasi di berbagai inang dan mamalia unggas, tujuh di antaranya dapat menyebabkan penyakit mulai dari flu biasa hingga penyakit yang lebih parah seperti MERS-CoV dan SARS-CoV . COVID-19 merupakan coronavirus baru yang belum diidentifikasi sebelumnya yang mirip dengan coronavirus yang bertanggung jawab untuk SARS-CoV, tetapi berbeda dengan MERS-CoV.

Untuk semua coronavirus termasuk COVID-19, setidaknya terdapat tiga protein struktural yang dibagi pada membran yaitu spike (S), protein membran (M) dan protein membran kecil (E). Selain itu, juga memiliki empat protein fungsional yang ditemukan di hampir semua coronavirus yaitu 3-chymotrypsin-like protease (3CLpro), protease-like papain (PLpro), RNA-dependent RNA polymerase (RdRp) dan helicase. Hal ini menunjukkan bahwa strategi untuk melawan infeksi COVID-19 adalah dengan menargetkan pada protein atau enzim ini.  Obat COVID-19 yang mulai beredar di Indonesia saat ini adalah Favipiravir dengan nama dagang Avigan dan Klorokuin.

Favipiravir (Avigan)

Favipiravir, atau yang dikenal dengan nama Avigan adalah obat antivirus yang dikembangkan oleh Toyama Chemical (anak perusahaan Fujifilm). Favipiravir (T-705) merupakan obat antivirus yang sangat menarik dibandingkan antivirus yang lainnya yang memiliki aktivitas spektrum luas terhadap virus RNA, termasuk virus influenza, rhino-virus, dan virus pada pernapasan, tetapi bukan virus DNA. Sebelumnya, favipiravir telah dikembangkan sebagai obat anti-influenza yang dilisensikan di Jepang. Selain itu, saat ini favipiravir juga sedang dikembangkan untuk pengobatan terhadap strain influenza baru. Keunggulan favipiravir sebagai obat antivirus adalah tidak adanya generasi virus yang resisten terhadap favipiravir.

Baru-baru ini telah dilakukan evaluasi yang komprehensif tentang kemanjuran klinis pengobatan untuk pasien COVID-19 di The Third People’s Hospital of Shenzhen. Pengkajian dilakukan dengan membandingkan efek klinis favipiravir dengan lopinavir/ritonavir pada pasien COVID-19. Temuan ini diharapkan dapat membantu memberikan panduan untuk perawatan klinis infeksi SARS-CoV-2.Temuan ini menunjukkan bahwa favipiravir memiliki efek pengobatan yang lebih baik pada COVID-19 dibandingkan dengan lopinavir/ritonavir. Favipiravir dikenal sebagai prodrug, merupakan suatu inhibitor RNA-dependent RNA polymerase (RdRp) baru, yang telah terbukti efektif dalam pengobatan influenza dan virus Ebola. Juga dilaporkan bahwa selain favipiravir remdesivir juga efektif dalam mengurangi infeksi SARS-CoV-2 secara in vitro.

Klorokuin

Klorokuin adalah bentuk amin asidotropik dari kina yang disintesis di Jerman oleh Bayer pada tahun 1934. Obat ini muncul sebagai pengganti kinin dari tumbuhan. Selama beberapa dekade, klorokuin adalah obat lini depan untuk pengobatan dan profilaksis malaria dan merupakan salah satu obat yang paling diresepkan di seluruh dunia. Klorokuin sulfat dan klorokuin fosfat telah dikomersialkan sebagai obat antimalaria. Hidroksiklorokuin juga telah digunakan sebagai antimalaria, tetapi selain itu sekarang banyak digunakan pada penyakit autoimun seperti lupus dan rheumatoid arthritis.

Publikasi terbaru menunjukkan bahwa klorokuin yang awalnya sebagai obat antimalaria dapat juga digunakan untuk mengobati pasien yang terinfeksi oleh novel coronavirus (SARS-CoV-2). Dari catatan yang ada klorokuin dan hidroksi klorokuin dianggap aman dan efek samping umumnya ringan dan sementara. Namun, klorokuin memiliki indeks terapi yang sempit sehingga penggunaan dengan dosis yang tidak tepat sangat rentan menimbulkan keracunan klorokuin diantaranya adalah gangguan kardiovaskular yang dapat mengancam jiwa. Oleh karena itu penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin harus menggunakan resep dokter.

Aktivitas antivirus in vitro klorokuin telah diidentifikasi sejak akhir 1960-an dengan kemampuannya menghambat pertumbuhan berbagai virus dalam kultur sel, termasuk coronavirus SARS. Baru-baru ini, Wang dan rekannya telah mengevaluasi secara in vitro lima obat yang disetujui FDA dan dua antivirus spektrum luas terhadap isolat klinis SARS-CoV-2. Salah satu kesimpulan mereka adalah bahwa klorokuin sangat efektif dalam pengendalian infeksi Covid-19 secara in vitro. Namun perlu dilanjutkan dengan uji klinik dengan menggunakan manusia yang menderita penyakit virus coronavirus.

 

Penulis: Dr. apt. Yandi Syukri, S.Si, M.Si. (Dosen Farmasi dan Peneliti pada Nanopharmacy Research Centre Jurusan Farmasi Universitas Islam Indonesia)

Sumber bacaan:

[1]    Y. Duan, H.-L. Zhu, C. Zhou, Drug Discov. Today 2020.

[2]   A. Cortegiani, G. Ingoglia, M. Ippolito, A. Giarratano, S. Einav, J. Crit. Care 2020.

[3]   F. Touret, X. de Lamballerie, Antiviral Res. 2020, 177, 104762.

[4]   M. Adnan Shereen, S. Khan, A. Kazmi, N. Bashir, R. Siddique, J. Adv. Res. 2020.

[5]   Q. Cai, M. Yang, D. Liu, J. Chen, D. Shu, J. Xia, X. Liao, Y. Gu, Q. Cai, Y. Yang, C. Shen, X. Li, L. Peng, D. Huang, J. Zhang, S. Zhang, F. Wang, J. Liu, L. Chen, S. Chen, Z. Wang, Z. Zhang, R. Cao, W. Zhong, Y. Liu, L. Liu, Engineering 2020.

[6]   K. Shiraki, T. Daikoku, Pharmacol. Ther. 2020, 107512.

[7]   C. A. Devaux, J.-M. Rolain, P. Colson, D. Raoult, Int. J. Antimicrob. Agents 2020, 105938.

[8]   https://id.wikipedia.org/wiki/Virus

Remdesivir merupakan obat antivirus spektrum luas. Sebuah prodrug analog nukleotida baru, yang dikembangkan oleh perusahaan bioteknologi Gilead Sciences. Awalnya digunakan sebagai pengobatan untuk infeksi penyakit virus Ebola dan virus Marburg. Meskipun ditemukan juga aktivitas antivirus terhadap yang lainnya. Termasuk virus kor-MERS

Remdesivir mampu menghambat kemampuan virus untuk bereplikasi di dalam tubuh. Uji pada hewan menunjukkan bahwa obat ini mampu melawan dua coronavirus yang mematikan.  Dua virus itu adalah Sars dan Mers, terutama ketika diberikan segera setelah gejala muncul. Hasil ini juga dikuatkan oleh hasil uji aktivitas in vitro dan in vivo pada hewan uji pada virus MERS dan SARS, yang juga merupakan coronavirus dan secara struktural mirip dengan COVID-19. Data praklinis yang terbatas tentang remdesivir pada MERS dan SARS menunjukkan bahwa remdesivir dimungkinkan memiliki aktivitas potensial terhadap COVID-19.

Ketika wabah koronavirus telah berkembang, banyak yang melihat bahwa remdesivir dapat digunakan sebagai obat. Selain itu juga merupakan pelopor dan salah satu dari sedikit obat yang memiliki prospek untuk dikembangkan. Sementara menunggu hasil uji klinik ini, dokter di AS, Cina dan Italia sudah menggunakan remdesivir untuk mengobati sejumlah kecil pasien dengan Covid-19 parah. Pasien AS pertama, seorang pria berusia 35 tahun di Snohomish County, Washington, pulih, tetapi percobaan penuh diperlukan untuk menilai apakah obat mengurangi keparahan gejala dan, yang terpenting, tingkat kematian.

Penulis : Dr. apt. Yandi Syukri, S.Si., M.Si. (Dosen Teknologi Farmasi dan Peneliti di Nanopharmacy Research Centre, Jurusan Farmasi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)

Sumber: Wikipedia dan aapsnewsmegazine.