Alhamdulillah, pada 22 Desember 2021, FDA telah memberikan otorisasi untuk penggunaan darurat (Emergency Use Authrorization/EUA) Paxlovid dalam pengobatan COVID-19. Kita sangat menantikan berita baik ini yang bertepatan dengan meningkatnya gelombang kedua dan ketiga karena varian Delta di beberapa negara dan munculnya varian baru Omicron yang dinyatakan sebagai Varian of Concern (VOC) oleh WHO pada 26 November 2021.

Perlu kita tilik lagi ke belakang, bahwasanya wabah SARS-CoV-2 pada 2019 telah mengakibatkan 279 juta kasus terkonfirmasi COVID-19 dan menyebabkan >5,3 juta kematian secara global per Desember 2021 (WHO, 2021). SARS-CoV-2 adalah RNA-coronavirus yang sangat menular dan dapat menyebabkan kasus serius seperti pneumonia serta gejala long Covid. Meskipun vaksin COVID-19 telah dikembangkan dan terbukti dapat menurunkan prevelensi dan kesakitan pada pasien COVID-19, sebagian besar orang tidak dapat mendapatkannya karena kondisi medis yang sudah ada sebelumnya atau tidak mau divaksinasi. Selain itu, adanya hambatan akses global seperti di Negara Dunia Ketiga.

Terapi oral khusus untuk SARS-CoV-2 sangat dibutuhkan untuk mencegah rawat inap, mencegah kesakitan, dan kematian. Penggunaan kembali obat-obatan (repurposing drug) sebagai agen antivirus SARS-CoV-2 sejauh ini kurang efektif dan pemberiannya secara per intra vena juga kurang menyenangkan. Pendekatan terbaru dalam penemuan obat antivirus COVID-19 yang cukup potensial adalah dengan menghambat suatu protease utama (main protease) yang terlibat dalam pemecahan poliprotein yang terlibat dalam replikasi virus. Obat PF-07321332 (Paxlovid) dapat diberikan secara oral, memiliki selektivitas dan profil keamanan yang baik. Paxlovid 90% efektif mencegah rawat inap dan kematian pasien berisiko tinggi. Selain itu, paxlovid juga mampu melawan VOC Sars Cov-2, termasuk Omicron. Paxlovid juga dilaporkan dapat menghambat coronavirus lainnya, termasuk SARS dan MERS.

Berbagai negara sepertinya akan segera menggunakan Paxlovid. AS dilaporkan telah mengamankan 10 juta dosis Paxlovid. Lalu, Korea Selatan menjadi negara Asia pertama yang telah menyetujui penggunaan Paxlovid. Sementara itu, negara di Eropa masih belum menyetujui penggunaan Paxlovid. Indonesia sendiri dilaporkan masih menunggu kajian efikasi, khasiat, dan efek samping dari paxlovid yang dilakukan oleh BPOM.

Bagaimana mekanisme kerja Paxlovid?

Paxlovid bukanlah suatu repurposing drug melainkan memang obat yang disintesis dan didesain khusus untuk Sars Cov-2. Paxlovid merupakan kombinasi antara obat antivirus bernama Nirmatrelvir dan Ritonavir. Nirmatrelvir adalah inhibitor kovalen, mengikat langsung ke residu katalitik sistein (Cys145) dari enzim protease (Mpro) seperti yang ditunjukkan pada langkah 3, yang selanjutnya akan menghentikan langkah 4–6 (lihat gambar). Penghambatan Mpro adalah titik strategis, yang membuat virus gagal untuk bereplikasi. Ritonavir berfungsi untuk memperlambat metabolisme nirmatrelvir oleh enzim sitokrom untuk mempertahankan konsentrasi nirmatrelvir tetap tinggi di dalam darah.

Mekanisme antivirus Paxlovid dan Molnupiravir. (Gambar dimodifikasi dari science.org)

Siapa penerima dan bagaimana penggunaan Paxlovid?

Paxlovid akan tersedia dalam bentuk blister berisi dua tablet Nirmatrelvir 150 mg, dan satu tablet Ritonavir 100 mg. Ritonavir merupakan obat untuk HIV, tetapi di sini digunakan untuk memperlambat metabolisme nirmatrelvir. Pasien yang juga menerima obat yang dimetabolisme oleh enzim sitokrom perlu penyesuaian dosis, misalnya pada obat golongan statin, pengencer darah, dan antidepresan. Paxlovid dapat diberikan jika pasien:

  • Berusia > 12 tahun atau BB 39 kg,
  • Dinyatakan positif COVID-19, dan
  • Menggunakan resep dokter.

Hal yang perlu diingat, paxlovid bukanlah obat untuk mencegah COVID. Jadi, tidak bisa diberikan sebagai agen preventif.

Lalu, bagaimana dengan Molnupiravir?

Sebelumnya, molnupiravir digadang-gadang sebagai obat pertama anti-COVID-19. Akan tetapi, hasil uji klinis lengkap molnupiravir kurang begitu menggembirakan. Pada awal fase klinis, Merck melaporkan adanya pengurangan relatif (efektivitas obat) 50% dan manfaat absolut 7 per 100 orang untuk pasien rawat inap. Sementara hasil uji klinis menyatakan pengurangan hanya ~30% relatif dan hanya 3 per 100 pengurangan absolut dari pasien rawat inap. Pada 23 Desember 2021 (sehari sesudah EUA Paxlovid), FDA memberikan EUA bagi penggunaan malnopurivir di AS.

FDA mengizinkan pemberian molnupiravir untuk orang dewasa dengan gejala awal COVID-19 yang menghadapi risiko rawat inap tertinggi, termasuk orang tua dan mereka yang memiliki kondisi seperti obesitas dan penyakit jantung. Molnupiravir mungkin efektif digunakan sebagai pengobatan COVID-19 ringan hingga sedang pada orang dewasa tertentu ketika alternatif COVID-19 pilihan pengobatan yang disahkan oleh FDA tidak dapat diakses atau sesuai secara klinis. Beberapa efek samping serius dari obat ini adalah dapat memengaruhi pertumbuhan tulang dan tulang rawan sehingga dikontraindikasikan pada pasien di bawah 18 tahun. Selain itu, uji pre-klinis pada hewan menunjukkan adanya bukti teratogenik sehingga obat ini juga dikontraindikasikan pada wanita hamil. Molnupiravir diberikan sebagai empat kapsul 200 miligram yang diminum setiap 12 jam selama lima hari, dengan total 40 kapsul. Molnupiravir tidak diizinkan untuk digunakan lebih dari lima hari berturut-turut.

Mencegah lebih baik daripada mengobati

Adanya Paxlovid/ Molnupiravir seharusnya tidak mengurangi pemberian vaksinasi dan juga penerimaan booster vaksin. Yang perlu digaribawahi adalah Paxlovid atau Molnupiravir bukanlah untuk pencegahan primer, tidak seperti vaksinasi. Kegiatan pencegahan Covid-19 seperti 3 M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan pakai sabun), 3T (testing, tracing, treatment), dan vaksinasi merupakan langkah yang tepat dalam pengendalian pandemi. Peranan pemerintah sebagai pemangku kebijakan dalam pengendalian pandemi harus tegas dan terus menerus mengingatkan kepada masyarakat. Kita sebagai tenaga kesehatan juga memiliki andil yang besar dalam membantu pemerintah dengan berpartisipasi mengedukasi masyarakat tentang pengendalian dan pencegahan Covid-19.

Terakhir, mari liburan akhir tahun dan tahun baru kita isi dengan hal -hal yang bermanfaat di rumah. Semoga tahun 2022 pandemi segera selesai. Amien.

 

Ditulis oleh Dr. apt. Asih Triastuti, M. Pharm (Dosen Jurusan Farmasi UII)

 

 

Referensi:

WHO Solidarity Trial Consortium. Repurposed Antiviral Drugs for Covid-19 – Interim WHO Solidarity Trial Results. N Engl J Med. 2021 Feb 11;384(6):497-511. doi: 10.1056/NEJMoa2023184. Epub 2020 Dec 2. PMID: 33264556; PMCID: PMC7727327.

Riva L, et al., Discovery of SARS-CoV-2 antiviral drugs through large-scale compound repurposing. Nature. 2020 Oct;586(7827):113-119. doi: 10.1038/s41586-020-2577-1. Epub 2020 Jul 24. PMID: 32707573; PMCID: PMC7603405.

Owen DR, Allerton CMN, Anderson AS, Aschenbrenner L, Avery M, Berritt S, Boras B, Cardin RD, Carlo A, Coffman KJ, Dantonio A, Di L, Eng H, Ferre R, Gajiwala KS, Gibson SA, Greasley SE, Hurst BL, Kadar EP, Kalgutkar AS, Lee JC, Lee J, Liu W, Mason SW, Noell S, Novak JJ, Obach RS, Ogilvie K, Patel NC, Pettersson M, Rai DK, Reese MR, Sammons MF, Sathish JG, Singh RSP, Steppan CM, Stewart AE, Tuttle JB, Updyke L, Verhoest PR, Wei L, Yang Q, Zhu Y. An oral SARS-CoV-2 Mpro inhibitor clinical candidate for the treatment of COVID-19. Science. 2021 Dec 24;374(6575):1586-1593. doi: 10.1126/science.abl4784. Epub 2021 Nov 2. PMID: 34726479.

https://covid19.who.int/

https://www.science.org/content/article/pfizer-antiviral-slashes-covid-19-hospitalizations

https://www.covid19treatmentguidelines.nih.gov/management/clinical-management/hospitalized-adults–therapeutic-management/

https://erictopol.substack.com/p/why-paxlovid-is-a-just-in-time-breakthrough

https://www.abc.net.au/news/2021-12-24/fda-approves-mercks-molnupiravir-pill/100723836

Keseimbangan antara kalam ilahi dan ilmu pengetahuan perlu diperkuat. Hal ini dikarenakan sering kali hanya berat di salah satu sisi saja. Baik itu ranah wahyu atau bidang sains semata. Dibuktikan dengan masih ada beberapa orang yang berlebihan dalam memahami agama maupun terlalu mendewakan logika. Umat Islam yang moderat tentu saja harus menghargai posisi Alquran dan temuan saintis.

Penulis lebih memilih menggunakan istilah pagebluk dalam menyebut wabah Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Dikarenakan diksi pandemi belum dipahami dengan baik oleh khalayak dan malah sering diplesetkan dengan istilah plandemi. Sebuah plesetan yang tidak sepenuhnya dapat disetujui, karena seolah menafikan wabah ini sebagai bagian dari takdir Allah swt. dan kejadian alami sehingga berujung pada penularan penyakit yang belum dapat dikendalikan, khususnya di Indonesia.

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pagebluk ini telah memecah belah umat Islam dalam bersikap. Ada yang mengatakan bahwa terinfeksi Covid-19 atau tidak adalah sepenuhnya takdir Allah Ta’ala. Sebuah pernyataan yang secara sekilas terkesan islami, namun sejatinya sesat pikir. Mereka yang berpandangan seperti ini telah terpapar virus Jabariyah. Sebuah aliran Ilmu Kalam yang menyatakan bahwa semua hal yang terjadi pada manusia adalah kehendak Allah swt., pemahaman yang mengesampingkan ikhtiar. Sebagaimana istilahnya, Jabariyah berasal dari kata jabbar yang bermakna memaksa. Allah Azza wa Jalla adalah al-Jabbar, salah satu dari asma al-husna. Pemaksa dalam arti positif, namun bukan berarti usaha umat Islam melalui ilmu pengetahuan dikesampingkan begitu saja.

Para pakar medis sebaiknya dipatuhi anjuran-anjuran mereka. Tidak mungkin pagebluk ini adalah settingan untuk menghabisi umat Islam. Sebuah statement yang sering penulis baca atau dengar dari orang-orang yang secara tidak sadar telah terkonfirmasi virus Jabariyah ini. Mematuhi protokol kesehatan 6 M (Memakai masker, Mencuci tangan dengan sabun, Menjaga jarak, Mengurangi mobilitas, Menjauhi kerumunan, dan Mendukung vaksinasi) adalah perintah Islam. Uraian lebih lanjut mengenai hal ini dapat disaksikan di podcast penulis yang ditayangkan di saluran YouTube FMIPA UII J

Ada juga sekolompok orang yang sangat patuh terhadap rekomendasi World Health Organization (WHO) tapi enggan mendekatkan diri pada Ilahi melalui firman-firmannya. Tipe seperti ini dinyatakan positif virus Qadariyah. Sebuah aliran Aqidah Islamiyah yang berasal dari kata qadar. Artinya adalah kehendak. Sesuatu yang menimpa manusia, entah baik atau buruk sepenuhnya adalah buah perbuatan dia sendiri. Pemahaman seperti ini juga tidak tepat. Dikarenakan mengesampingkan kuasa Allah Jalla Jalaluhu yang tertuang dalam Alquran al-Karim.

Agama tanpa diiringi ilmu pengetahuan adalah suatu kebodohan. Sains yang meniadakan campur tangan Sang Penguasa Alam merupakan sebuah kesombongan. Perlu diingat bahwa umat di masa lampau dibinasakan oleh Allah swt. karena kesombongan mereka.

 

Ditulis oleh

Ustadz Shubhi Mahmashony Harimurti, S.S., M.A.

  • Dosen Agama Islam Jurusan Farmasi FMIPA UII
  • Kepala Bidang Akademik dan Organisasi Badan Perencanaan dan Pengembangan/Rumah Gagasan UII

Gambar: Ilustrasi dari freepik.com

Sejak COVID-19 dinyatakan sebagai pandemi oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) pada 11 Maret 2020, pertanyaan yang diajukan semua orang adalah mengapa butuh waktu lama untuk memproduksi vaksin. Berpacu dengan waktu, para peneliti dan produsen vaksin telah berupaya semaksimal mungkin untuk mengembangkan vaksin COVID-19.

Sepertinya, permulaan dari akhir pandemi ini semakin dekat. Akan tetapi, sekarang kita dihadapkan pada kekhawatiran lain. Pertama, apakah dosis vaksin akan cukup untuk dibagikan bagi semua orang. Kedua, adanya sekelompok orang yang tidak mau divaksinasi karena produksi dan pengembangan vaksin dirasa sangat cepat.

Menurut survei Populi Center yang dirilis pada 9 November 2020, 40,0 persen masyarakat Indonesia tidak bersedia menggunakan vaksin pembagian dari pemerintah. Dalam pertanyaan khusus, masyarakat yang tidak bersedia diberi vaksin mayoritas menjawab takut akan bahaya/risiko kesehatan sebesar 46,5 persen ; tidak percaya vaksin menyembuhkan sebesar 15,2 persen ; dan tidak dapat memastikan vaksin halal sebesar 13,3 persen. Jumlah orang yang menolak vaksinasi atau menundanya akan bertambah kecuali kekhawatiran publik atas kemanjuran dan keamanan vaksin COVID-19 ini ditangani. Jika tidak, hal ini akan menjadi bencana karena akan memungkinkan virus untuk terus beredar sehingga memperpanjang pandemi.

Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk meminimalkan penderitaan karena COVID-19 sehingga dapat melanjutkan kehidupan normal, perdagangan, perjalanan/travel, dan pendidikan adalah dengan menghentikan penyebaran virus. Namun, jika untuk mencapai kondisi ini hanya bergantung pada vaksin saja, tentu tidak cukup. Untuk itu, kita membutuhkan sebanyak mungkin orang untuk dilindungi (membentuk herd immunity) di seluruh dunia secara manusiawi dan secepat mungkin.

Mengapa produksi vaksin COVID-19 berlangsung sangat cepat?

Selama berbulan-bulan kita telah berulang kali diberi tahu bahwa biasanya dibutuhkan lebih dari satu dekade untuk mengembangkan vaksin. Oleh karena itu, cukup masuk akal untuk bertanya bagaimana vaksin COVID-19 ini dapat diproduksi dalam waktu kurang dari setahun?

Untuk memahami hal ini, penting untuk diingat bahwa uji klinis hanyalah satu tahap dari proses pengembangan vaksin yang biasanya berlangsung lama (lihat gambar pengembangan vaksin di bawah). Pada tahap pre-klinik (sebelum vaksin diuji kepada manusia), diperlukan waktu bertahun-tahun untuk mengembangkan antigen yang sesuai. Antigen adalah bagian dari vaksin yang digunakan untuk memicu respons imun.

Gambar tahapan pengembangan vaksin

Antigen COVID-19 pertama dipetakan dalam beberapa jam setelah genom virus corona dipublikasikan pada 31 Januari 2020 oleh Institut Pasteur, Prancis. Oleh karena itu, pengembangan vaksin RNA virus sangat cepat. Demikian pula waktu pengembangan vaksin lain yang lebih tradisional dapat dipercepat dengan menggali informasi dari virus terkait seperti antigen virus SARS, Mers, dan virus corona. Proses inilah yang dapat menghemat waktu kita bertahun-tahun.

Alasan penting lain mengapa pengembangan vaksin biasanya memakan waktu lama adalah bahwa produsen vaksin biasanya melakukan uji klinis secara berurutan, lalu berhenti di antara setiap fase, dan kadang-kadang mengulangi uji coba dengan perubahan antigen seperti yang telah dijelaskan. Selain itu, produsen biasanya menunggu sampai calon vaksin mereka lolos uji klinis dan melewati semua peraturan sebelum meningkatkan fasilitas produksi. Dengan demikian, mereka dapat memproduksi vaksin dalam jumlah besar. Mengingat satu pabrik dapat menelan biaya lebih dari setengah miliar dolar (sekitar 7 triliun rupiah) dan kandidat vaksin pada tahap klinis masih memiliki peluang kurang dari 20 persen untuk berhasil, dapat dimengerti mengapa produsen biasanya enggan melakukan investasi yang signifikan sampai mereka yakin bahwa produk tersebut berlisensi dan dapat dipasarkan. Kondisi ini dapat menambah lamanya waktu yang dibutuhkan sebelum vaksin tersedia.

Sementara itu, situasi sangat berbeda pada Covid-19 karena telah menjadi ancaman global. Oleh karena itu, para ilmuwan telah menjawab tantangan tersebut dengan mengembangkan 57 kandidat vaksin yang sedang dalam tahap uji klinis: 40 dalam uji fase I-II dan 17 dalam uji fase II-III yang didukung dengan investasi besar-besaran dari negara-negara maju. Situasi berbeda lainnya adalah karena terdapat kolaborasi global yang melibatkan 189 pemerintahan dan pelaku ekonomi yang mewakili hampir 90 persen dari populasi global melalui ACT accelerator yang diinisiasi oleh negara-negara G20 dan WHO. Kolaborasi ini memastikan akses ke vaksin Covid-19 lebih cepat, adil, dan setara bagi orang-orang di seluruh dunia. Pemerintah dalam hal ini membantu produsen berbagi risiko dan mendorong mereka untuk meningkatkan dan mulai memproduksi vaksin dalam volume besar sebelum vaksin tersebut berlisensi. Hal ini berarti bahwa setelah disetujui oleh otoritas untuk digunakan, pemerintah dapat memulai vaksinasi sehingga dapat menghemat waktu bertahun-tahun.

Sebagai tambahan, pada uji klinis, efisiensi waktu dilakukan dengan melaksanakan berbagai fase hampir secara paralel, bukan satu demi satu. Selain itu, pengadaptasiannya dilakukan seiring berjalannya waktu. Hal ini tidak hanya memungkinkan untuk mempercepat proses, tetapi juga untuk benar-benar membantu menyempurnakan vaksin tersebut. Kemudian, di setiap tahap dapat ditambahkan uji pada kelompok risiko sehingga diperoleh profil yang lebih lengkap tentang seberapa efektif vaksin di berbagai demografi yang berbeda. Sebagai contoh, vaksin Sinovac yang diuji klinik pada fase III di beberapa negara seperti Brazil, Cili, Filipina, Indonesia, dan Turki melibatkan lebih dari 20.000 relawan, tentu saja dengan tetap memperhatikan aspek keselamatan.

Kapan Indonesia akan memulai vaksin COVID-19?

Pada 2 Desember 2020, NHS menyetujui penggunaan vaksin Covid-19 produksi Pfizer-BioNTech di Inggris. Lalu, pada 11 Desember 2020, FDA menyetujui penggunaan darurat vaksin Covid-19 produksi Pfizer tersebut di AS. Sementara itu, pemerintah Indonesia telah memesan sekitar 143 juta dosis vaksin Sinovac dengan total 1,2 juta dosis vaksin masuk ke Tanah Air pekan lalu. Vaksin tersebut kini disimpan di gudang PT Bio Farma di Bandung dan menunggu BPOM untuk memberikan lampu hijau untuk penggunaan darurat vaksin sebelum dapat memulai vaksinasi. Awal Januari, Bio Farma akan menyampaikan laporan sementara yang berisi bukti efikasi, imunogenisitas, dan keamanan (serta kehalalan) vaksin tersebut kepada BPOM untuk membantu memastikan otorisasi penggunaan. Selain itu, pemerintah juga akan memastikan tersedianya fasilitas rantai dingin (cold chain) untuk menjaga stabilitas vaksin dan telah mempersiapkan petugas kesehatan sebagai tenaga vaksinator. Masyarakat Indonesia akan menerima vaksin yang aman dan efektif, sesuai dengan komitmen BPOM dan pemerintah. Sembari menunggu hasil uji klinik vaksin, edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat akan vaksin COVID-19 sangat diperlukan.

Ditulis oleh Dr. apt. Asih Triastuti, M. Pharm (Dosen Jurusan Farmasi UII)

Sumber:

https://www.raps.org/news-and-articles/news-articles/2020/3/covid-19-vaccine-tracker

https://ourworldindata.org/covid-vaccinations

https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/vaccines/effectiveness.html

https://www.sciencedaily.com/releases/2020/01/200131114748.htm

https://populicenter.org/evaluasi-umum-pemerintahan-joko-widodo-kh-maruf-amin-dan-penerimaan-terhadap-vaksin-covid-19/

Foto: Ilustrasi Swab Test Covid-19

Selama ini test swab PCR dianggap sebagai metode diagnostik standar untuk mengonfirmasi penyakit Covid-19 yang disebabkan oleh virus SARS Cov-2. Tes swab PCR-real time ini menggunakan sampel asam nukleat untuk memastikan keberadaan virus SARS-Cov2. Sebagaimana dilansir dalam suatu tinjauan sistematis, sensitivitas PCR untuk deteksi virus SARS-Cov2 mencapai 86% dengan nilai spesifisitas 96%. Test swab PCR ini lebih akurat dibandingkan yang lain misalnya pemeriksaan antigen yang mengukur protein atau pemeriksaan antibodi yang mengukur Imunoglobulin atau IgG dan IgM. Kedua pemeriksaan terakhir ini sering disebut rapid test, karena memberikan hasil yang cepat, namun akurasinya dipengaruhi oleh waktu paparan dan respon tubuh masing-masing.

Beberapa minggu terakhir ini kita dihebohkan dengan berita jamaah umroh Indonesia yang gagal menjalani ibadah umroh karena hasil swab PCR di Arab Saudi menunjukkan hasil positif. Hal ini tentu mengejutkan, karena jamaah umroh ini sudah menjalani swab PCR di Indonesia dengan hasil swab negatif. Selama ini kita mengenal tes swab sebagai pemeriksaan yang paling akurat untuk diagnostik Covid-19. Apa sebenarnya yang bisa mempengaruhi perbedaan hasil swab PCR untuk mendeteksi virus SARS-Cov2 ini?

Faktor Analisis

Beberapa faktor analisis yang mungkin mempengaruhi perbedaan hasil swab PCR, meliputi faktor pra analisis, proses analisis, dan pasca analisis; Faktor praanalisis meliputi teknik samping dan penyiapan spesimen, factor analisis berupa proses analisisnya, dan factor pasca analisis yaitu interpretasi hasil.

  1. Teknik sampling yang kurang tepat. WHO menetapkan lokasi pengambilan sampel ada di saluran napas atas tepatnya di nasofaring (bagian dari tenggorakan yang berada di belakang hidung) atau di orofaring. Tes gabungan usap nasofaringeal dan orofaringeal terbukti meningkatkan sensitivitas dan meningkatkan akurasi. Berdasarkan penelitian menemukan bahwa usap nasofaringeal memberikan hasil yang lebih handal dibandingkan orofaringeal. Spesimen saluran pernapasan bawah hanya dianjurkan pada pasien yang secara klinis diduga kuat mengalami COVID-19 dan dapat mengeluarkan sputum atau dahak secara spontan. Mengingat ketepatan sampling sangat penting, kemampuan atau ketrampilan dari tenaga kesehatan yang melakukan pengambilan sampel menjadi faktor penting yang juga perlu diperhatikan. Oleh karena itu, jangan menolak jika akan diambil sampel di nasofaring.
  2. Penyimpanan spesimen tidak terkontrol. Spesimen seharusnya segera disimpan ditabung tertutup sehingga terhindar dari kontaminasi virus. Jika tidak bisa langsung diujikan, spesimen harus disimpan 2-8 °C jika ≤12 hari-70 °C jika >12 hari. Ingatkan tenaga sampling untuk segera menutup tabung spesimen dan menyimpannya di suhu dingin.
  3. Proses analisis yang tidak valid. Validitas analisis dipengaruhi oleh ketepatan preparasi, instrument, dan metode. Laboratorium yang professional akan melakukan kontrol kualitas secara berkala, sehingga pilihlah laboratorium yang terpercaya.

Interpretasi

Interpretasi hasil swab PCR didasarkan atas nilai CT (Cycle threshold) yang menunjukkan frekuensi perubahan RNA virus menjadi DNA, sehingga pada satu titik diinterpretasikan sebagai hasil positif Covid-19. Nilai CT ini berbanding terbalik dengan kemampuan virus untuk menularkan ke orang lain. Berdasarkan laporan berbagai sumber, batas nilai CT yang digunakan laboratorium untuk menyatakan positif Covid-19 beragam, dari nilai <30 hingga <45. Hal ini menyebabkan perbedaan hasil atau kesimpulan Covid-19 ini. Apalagi, masyarakat umumnya hanya menggunakan hasil kualitatif berupa positif atau negatif saja, tanpa memperhatikan nilai CT. Sementara itu, hasil laboratorium juga jarang sekali menampilkan nilai CT. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa nilai CT >34 memberikan risiko penularan yang sangat rendah. Perbedaan interpretasi ini seharusnya mengingatkan pentingnya meminta nilai CT ketika kita menerima hasil swab PCR.

Ditulis oleh apt. Suci Hanifah, M.Si., Ph.D. (Dosen Jurusan Farmasi)

Remdesivir, yang digadang-gadang sebagai obat yang potensial untuk COVID19 ternyata tidak memiliki dampak yang signifikan dibandingkan dengan placebo. Berdasarkan jurnal yang diterbirkan oleh The Lancet (1), menyebutkan bahwa hasil uji pertama pada 237 pasien tidak menunjukkan dampak yang signifikan antara pasien yang diberi remdesivir dengan pasien yang menerima obat tanpa bahan aktif (plasebo). Dalam uji klinis ini, 158 pasien yang diterapi dengan remdesivir menghasilkan 14% kematian, dibandingkan dengan placebo yang menghasilkan hampir 13% kematian. Selain itu 11,6% pasien menghentikan terapi karena mengalami efek samping obat, dibandingkan dengan 5% pada kelompok kontrol. Bahkan dilaporkan 102 pasien mengalami efek samping obat dibandingkan dengan 50 pasien yang diterapi dengan plasebo. Hal ini tentu mengejutkan banyak pihak karena Remdesivir (GS-5734) yang merupakan prodrug dari monofosforamidat dikenal sebagai antivirus spektrum luas untuk terapi infeksi virus golongan filovirus, paramyxovirus, pneumovirus, and coronavirus.

Hasil uji in vitro menyebutkan bahwa remdesivir mampu menghambat semua coronavirus pada manusia dan hewan termasuk virus SARS-CoV-2 penyebab COVID19. Remdesivir menjadi penghambat yang potensial untuk replikasi virus SARS-CoV-2 pada sel epitel hidung dan bronkus. Bahkan pada uji in vivo pada monyet yang diinfeksi oleh SARS-CoV-2, pemberian awal remdesivir menunjukkan efek klinik  dan antiviral yang signifikan, ditandai dengan penurunan cairan pada paru-paru dan jumlah titer virus dari hasil pemeriksaan cairan pada bronkus dan alveolus (1). Meskipun demikian, ternyata hasil uji pada manusia memberikan hasil yang berbeda. Hal ini lah yang perlu disadari oleh banyak pihak bahwa obat yang menghasilkan efek yang signifikan pada uji praklinik (uji pada hewan atau sel) belum tentu menghasilkan efek yang sama jika diberikan secara langsung ada manusia. Sekaligus memberi gambaran bahwa obat yang beredar secara resmi dipasaran sebenarnya melalui tahapan yang panjang, mahal dan melelahkan untuk dapat dirilis secara resmi sebagai obat dengan klaim “mengobati” atau “menyembuhkan” penyakit tertentu. Hal ini karena obat yang akan dirilis di pasaran harus melewati beberapa tahap uji berikut:

  1. Uji praklinik.

Pengujian ini dilakukan untuk “kandidat” obat untuk memperoleh informasi tentang efek farmakologi, profil farmakokinetik dan toksisitas dari “kandidat” obat. Uji praklinik dibagi menjadi 2 jenis yakni uji invitro dan in vivo. Uji in vitro adalah pengujian “kandidat” obat diluar tubuh makhluk hidup. Pengujian ini dilakukan pada kultur bakteri, sel terisolasi atau organ terisolasi. Jika hasilnya positif, kan dilanjutkan dengan uji in vivo yakni pengujian pada makhluk hidup (hewan) (2). Hewan yang digunakan adalah hewan yang diketahui genetiknya atau dikenal dengan galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmut, babi, anjing atau primata. Melalui pengujian ini akan bisa diprediksi efek penggunaan obat pada manusia terutama terkait efek toksik yang dihasilkan. Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi  efek samping obat akibat konsumsi jangka pendek dan jangka panjang, kerusakan atau mutase genetik (genotoksisitas atau mutagenisitas), pertumbuhan sel kanker (karsinogenisitas) dan kecacatan pada janin (teratogenisitas). Selain toksisitas, pengujian pada hewan juga dilakukan untuk mempelajari nasib obat dalam tubuh (farmakokinetik) “kandidat” obat yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil pengujian pada hewan tersebut menjadi bahan evaluasi untuk menentukan apakah “kandidat” obat tersebut dapat dilanjutkan dengan uji pada manusia atau tidak (3). Senyawa atau molekul “kandidat” obat yang lolos uji praklinik, maka disebut IND (Investigational New Drug) atau obat baru dalam penelitian selanjutnya akan diuji pada manusia (uji klinik).

  1. Uji Klinik.

Uji klinik merupakan penelitian yang dilakukan pada obat baru yang bertujuan untuk mengevaluasi dampaknya pada Kesehatan manusia. Uji klinik dirancang, dilaksanakan dan dievaluasi secara ketat untuk memastikan keamanan subjek uji.  Pengujian ini baru dapat dilalsanakan setelah melewati uji dulu kelayakan oleh komite etik sesuai Deklarasi Helsinki. Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu :

  1. Fase 0, Fase ini merupakan fase pendahuluan yang dilakukan pada sukarelawan sehat. Fase ini merupakan pendahuluan sebelum fase sebenarnya. Fase ini dilakukan dengan pemberian obat pada dosis yang sangat kecil yang tidak memiliki efek terapi untuk mengetahui apakah sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia (4).
  2. Fase I, Fase ini merupakan fase pengujian yang sesungguhnya. Fase ini berfokus pada aspek keamanan dari obat baru. Fase ini dilakukan pada sukarelawan sehat dalam jumlah kecil berkisar antara 20 – 100 orang (5) untuk mengamati efek samping yang paling sering muncul dan yang paling berbahaya dari obat baru serta untuk mengamati profil farmakokinetik obat pada manusia (4).
  3. Fase II, Fase ini difokuskan untuk mengamati efektivitas obat baru. Obat baru diuji pada pasien dengan kondisi/penyakit tertentu, kemudian diamati efek yang timbul pada penyakit yang diobati. Hal yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial dengan efek samping rendah atau tidak toksik. Pengujian pada fase ini kelompok pasien yang diterapi dengan obat baru biasanya akan dibandingkan dengan kelompok pasien yang diterapi dengan obat lain atau obat tanpa bahan aktif (plasebo) (4). Fase ini juga mengevaluasi keamanan dan efek samping jangka pendek serta mulai dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat (3).
  4. Fase III,Fase ini merupakan fase yang berfokus untuk mengamati keamanan dan efektivitas obat baru pada populasi yang berbeda, dosis yang berbeda dan menggunakan obat baru yang dikombinasikan dengan obat lain dengan melibatkan kelompok besar pasien. Fase ini menilai variabilitas efektivitas obat pada popolasi yang beragam. Setelah melewati uji klinis fase III inilah umumnya banyak obat baru yang ditolak atau tidak layak digunakan. Hingga akhirnya mungkin hanya 1 : 10.000 obat baru yang lolos untuk dipasarkan karena memiliki kelebihan dalam hal efikasi dan keamanan maupun efek samping dan resiko yang lebih kecil dibandingkan obat yang ada. Keputusan untuk menyetujui obat baru untuk dipasarkan dilakukan oleh badan khusus, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia, FDA (Food and Drug Administration) di Amerika Serikat, MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency) di Inggris, EMEA (European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) di negara Eropa lain dan TGA (Therapeutics Good Administration) di Australia. Selanjutnya obat baru yang lolos uji klinis fase III diizinkan untuk diproduksi dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu oleh industri farmasi sebagai legal drug serta dapat diresepkan oleh dokter (3).
  5. Fase IV, Fase ini sebenarnya bukan pengujian yang sesungguhnya, melainkan studi pasca pemasaran (post marketing surveillance) setelah obat disetujui untuk dipasarkan. Fase ini mengamati penggunaan obat pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai usia dan ras yang bertujuan untuk mengevaluasi lebih lanjut tingkat keamanan, efikasi dan kodisi penggunaan yang optimal (6). Setelah hasil studi fase IV dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika membahayakan sebagai contoh dekstroksipropoksifen suatu obat penghilang nyeri yang bahkan sudah digunakan selama 40 ditarik dari perdagangan karena efek kematian akibat overdosis(7), lepirudin suatu obat antikoagulan ditarik dari pasar eropa karena efek samping anafilaksis yang parah (8) dan yang terkini penarikan ranitidin dari pasaran karena tercemar NMDA yang dapat menimbulkan kanker.

Karena syarat yang sangat ketat itulah tidak mudah utuk suatu molekul obat untuk bisa beredar sebagai obat. Hal ini berlaku di negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya. Jangka penemuan obat baru sejak awal ditemukan suatu molekul kimia baru sampai menjadi obat baru yang diijinkan beredar memerlukan waktu kurang 5 – 10 tahun dan total biaya penelitian saat ini mencapai USD 2.870 juta (Rp. 45.920 Trilyun) (9).

Demikianlah petualangan panjang suatu molekul kimia sebelum obat diedarkan ke masyarakat. Dengan biaya yang terus meningkat serta waktu penelitian yang lama, tidaklah mengherankan jika harga obat, terutama obat-obat yang masih dilindungi masa paten, harganya sangatlah mahal. Hal ini tentu demi kebaikan umat manusia itu sendiri, untuk memastikan obat yang dikonsumsi aman, berkhasiat serta jelas identitasnya.

Catatan:

Meski uji klinis fase 2 hasilnya tidak memuaskan, tetapi Gilead Sciences.Inc tetap melanjutkan untuk uji klinis fase III untuk remdesivir dengan model SIMPLE di negara-negara yang memiliki prevalensi COVID19 yang tinggi. Studi mengevaluasi efikasi dan keamanan pemberian remdesivir selama 5 dan 10 hari untuk pasien COVID19 yang parah dengan regimen 200 mg pada hari pertama dan 100 mg pada hari selanjutnya dengan jumlah pasien mencapai 5600 orang yang tersebar pada 180 tempat pengujian diseluruh dunia, meliputi Amerika Serikat, China, Prancis, Jerman, Hongkong, Italia, Jepang, Korea Selatan, Belanda, Singapura, Spanyol, Swedia, Swiss, Taiwan dan Inggris (10).

Sumber:

  1. Wang Y, Zhang D, Du G, Du R, Zhao J, Jin Y, et al. Remdesivir in adults with severe COVID-19: a randomised, double-blind, placebo-controlled, multicentre trial. The Lancet. 2020 Apr;S0140673620310229.
  2. Commissioner O of the. Step 2: Preclinical Research. FDA [Internet]. 2019 Apr 18 [cited 2020 May 2]; Available from: https://www.fda.gov/patients/drug-development-process/step-2-preclinical-research
  3. Priyambodo B. Jalan Panjang Penemuan Obat Baru [Internet]. Bambang Priyambodo’s Weblog. 2014 [cited 2020 May 2]. Available from: https://priyambodo1971.wordpress.com/2014/03/27/jalan-panjang-penemuan-obat-baru/
  4. Clinical trials Questions and Answers [Internet]. [cited 2020 May 2]. Available from: https://www.who.int/news-room/q-a-detail/clinical-trials-questions-and-answers
  5. Commissioner O of the. Step 3: Clinical Research. FDA [Internet]. 2019 Apr 18 [cited 2020 May 2]; Available from: https://www.fda.gov/patients/drug-development-process/step-3-clinical-research
  6. Learn About Clinical Studies – ClinicalTrials.gov [Internet]. [cited 2020 May 2]. Available from: https://clinicaltrials.gov/ct2/about-studies/learn#ClinicalTrials
  7. WHO. Alert_123_Dextropropoxyphene.pdf [Internet]. WHO Newsletter. 2009 [cited 2020 May 2]. Available from: https://www.who.int/medicines/publications/drugalerts/Alert_123_Dextropropoxyphene.pdf?ua=1
  8. Petersen PE. World Health Organization. Organisation Mondiale de la Sante. Community Dent Oral Epidemiol. 2003 Dec;31(6):471–471.
  9. DiMasi JA, Grabowski HG, Hansen RW. Innovation in the pharmaceutical industry: New estimates of R&D costs. J Health Econ. 2016 May;47:20–33.
  10. Gilead Announces Results From Phase 3 Trial of Investigational Antiviral Remdesivir in Patients With Severe COVID-19 [Internet]. [cited 2020 May 2]. Available from: https://www.gilead.com/news-and-press/press-room/press-releases/2020/4/gilead-announces-results-from-phase-3-trial-of-investigational-antiviral-remdesivir-in-patients-with-severe-covid-19.

Penulis: apt. Ardi Nugroho, M.Sc. (Desen Jurusan Farmasi, Universias Islam Indonesia)

Keterbatasan penelitian pada favipiravir adalah tidak dilakukannya dengan randomized double-blinded uji klinis yang dikendalikan plasebo, sehingga dimungkinkan terjadi bias pada seleksi yang tak terhindarkan dalam perekrutan pasien. Namun, mengingat tingginya jumlah pasien yang datang secara bersamaan dan infektivitas penyakit yang sangat tinggi, secara etis tidak memungkinkan untuk mengondisikan pasien menerima obat eksperimental yang berbeda menggunakan proses pengacakan yang tidak mungkin dipahami oleh sebagian besar pasien. Perlu dijelaskan bahwa durasi pengobatan favipiravir dalam uji klinik ini adalah dua kali lebih lama dari yang digunakan untuk pengobatan influenza. Namun, efek samping pada kelompok eksperimen jarang terjadi dan dapat ditoleransi, dan tidak ada pasien yang perlu menghentikan pengobatan favipiravir. Hasil ini tampaknya menunjukkan bahwa durasi pengobatan favipiravir dapat diperpanjang jika perlu.

Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Gao dan rekannya yang menggunakan lebih dari 100 pasien menunjukkan hasil bahwa klorokuin fosfat memberikan efek yang lebih baik dibandingkan kontrol dalam penghambatan eksaserbasi pneumonia dan pertumbuhan virus serta memperpendek perjalanan penyakit. Namun, harus dipertimbangkan dengan hati-hati karena belum tersedia data yang mencukupi untuk mendukung hasil ini. Oleh karena itu interpretasi akhir mengharapkan bahwa tanpa adanya data yang dipublikasikan, sulit untuk mencapai kesimpulan yang pasti. Akan sangat penting untuk mengetahui apakah kemanjuran yang diamati terkait secara spesifik dengan klorokuin atau hidroksiklorokuin dalam bentuk garamnya (fosfat atau sulfat). Selanjutnya juga penting untuk ditentukan apakah manfaat terapi klorokuin tergantung pada klasifikasi usia atau stadium penyakit.

Namun untuk mendapatkan uji klinik yang lengkap tidak hanya cukup menggunakan uji pada pasien tetapi harus mendapatkan informasi yang lengkap berkaitan efek samping yang dimunculkan oleh penggunaan obat ini. Fase ini yang dikenal dengan uji klinik fase ke IV (post marketing survailance).

Strategi terapi yang potensial terhadap COVID-19

Pada awalnya, nebulisasi interferon-α, antibiotik spektrum luas, dan obat anti-virus dapat digunakan untuk mengurangi jumlah virus dalam tubuh, namun, hanya remdesivir yang menunjukkan dampak yang menjanjikan terhadap virus. Remdesivir tunggal dan dalam kombinasinya dengan klorokuin atau interferon beta secara signifikan mampu menghambat replikasi SARS-CoV-2 sehingga pasien dinyatakan sembuh secara klinis. Berbagai anti-virus lain saat ini sedang dievaluasi melawan infeksi diantaranya adalah Nafamostat, Nitazoxanide, Ribavirin, Penciclovir, Favipiravir, Ritonavir, AAK1, Baricitinib, dan Arbidol menunjukkan hasil yang memuaskan ketika diuji terhadap infeksi pada pasien dan isolat klinis in-vitro.

Baru-baru ini di Shanghai, dokter mengisolasi plasma darah dari pasien COVID-19 yang telah pulih secara klinis dan menyuntikkannya pada pasien yang terinfeksi. Hasilnya positif dengan pemulihan yang cepat. Dalam sebuah penelitian baru-baru ini, diidentifikasi bahwa antibodi monoklonal (CR3022) mampu berikatan dengan lokasi pengikatan reseptor dari SARS-CoV-2. CR3022 memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai kandidat terapeutik, baik tunggal atau dalam kombinasi dengan antibodi penawar lain untuk pencegahan dan pengobatan infeksi COVID-19.

Penulis: Dr. apt. Yandi Syukri, S.Si, M.Si. (Dosen Farmasi dan Peneliti pada Nanopharmacy Research Centre Jurusan Farmasi Universitas Islam Indonesia)

Sumber bacaan:

[1]          Y. Duan, H.-L. Zhu, C. Zhou, Drug Discov. Today 2020.

[2]          A. Cortegiani, G. Ingoglia, M. Ippolito, A. Giarratano, S. Einav, J. Crit. Care 2020.

[3]          F. Touret, X. de Lamballerie, Antiviral Res. 2020, 177, 104762.

[4]          M. Adnan Shereen, S. Khan, A. Kazmi, N. Bashir, R. Siddique, J. Adv. Res. 2020.

[5]          Q. Cai, M. Yang, D. Liu, J. Chen, D. Shu, J. Xia, X. Liao, Y. Gu, Q. Cai, Y. Yang, C. Shen, X. Li, L. Peng, D. Huang, J. Zhang, S. Zhang, F. Wang, J. Liu, L. Chen, S. Chen, Z. Wang, Z. Zhang, R. Cao, W. Zhong, Y. Liu, L. Liu, Engineering 2020.

[6]          K. Shiraki, T. Daikoku, Pharmacol. Ther. 2020, 107512.

[7]          C. A. Devaux, J.-M. Rolain, P. Colson, D. Raoult, Int. J. Antimicrob. Agents 2020, 105938.