obat Sirup

Heboh!! Obat sirup penyebab Gagal Ginjal Akut pada Anak-anak,,,Benarkah?!

Baru-baru ini, Indonesia dihebohkan dengan kejadian Gagal Ginjal Akut Atipikal (GGAA) yang banyak terjadi pada anak-anak. Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), terjadi peningkatan kasus gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak usia 6 bulan-18 tahun terjadi peningkatan terutama dalam dua bulan terakhir. Per tanggal 18 Oktober 2022, sebanyak 189 kasus telah dilaporkan dan paling banyak didominasi usia 1-5 tahun. Hal ini tentu menimbulkan kecemasan, khususnya para orang tua yang khawatir akan kondisi kesehatan anak-anaknya.

Sebagian ahli menduga, kejadian gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak diakibatkan oleh penggunaan obat. Dugaan ini muncul karena pada tanggal 5 Oktober 2022, badan kesehatan dunia atau WHO menerbitkan peringatan mengenai ditemukannya obat yang tidak memenuhi persyaratan dan diduga berhubungan dengan kematian 66 anak di Gambia akibat gagal ginjal akut setelah mengkonsumsi obat tersebut. Produk-produk obat tersebut yaitu Promethazine Oral Solution BP, Kofexnalin Baby Cough Syrup, MaKoff Baby Cough Syrup and MaGrip n Cold Syrup yang diproduksi oleh Maiden Pharmaceutical Limited, sebuah perusahaan manufaktur obat di India. Keempat produk tersebut diketahui mengandung zat aktif yang berbeda, yaitu: prometazin, feniramin maleat, ammonium klorida, klorfeniramin maleat, parasetamol, fenilefrin dan dekstrometorfan.

Lantas apakah zat aktif yang terkandung dalam produk tersebut penyebab gagal ginjal akut pada anak???

Ternyata bukan, karena hasil analisis WHO menyebutkan bahwa keempat obat tersebut terKONTAMINASI oleh DIETILEN GLIKOL dan ETILEN GLIKOL dalam jumlah yang MELEBIHI BATAS yang diizinkan.

Lantas, apa itu etilen glikol, dietilen glikol maupun propilen glikol???

1. Propilen glikol

Propilen glikol merupakan senyawa berbentuk cairan kental, jernih, tidak berwarna, rasa khas, tidak berbau dan menyerap air pada udara lembab. Senyawa ini sendiri telah banyak digunakan sebagai pelarut, ekstraktan, dan pengawet dalam berbagai bentuk produk obat baik parenteral (melalui pembuluh darah) dan nonparenteral.

Secara umum propilen glikol merupakan pelarut yang lebih baik daripada gliserin dalam melarutkan berbagai macam bahan aktif obat, seperti: kortikosteroid, fenol, golongan sulfa, barbiturat, vitamin (A dan D), berbagai jenis alkaloid, dan banyak jenis anestesi lokal. Selain itu propilen glikol juga memiliki antiseptik mirip dengan etanol, dan mampu melawan jamur seperti gliserin dan hanya sedikit kurang efektif dibandingkan etanol.

Selain sebagai pelarut, propilen glikol umumnya digunakan sebagai plasticizer. Propilen glikol juga digunakan dalam industri kosmetik dan makanan sebagai pembawa untuk pengemulsi dan sebagai pembawa untuk bahan-bahan perasa.

Propilen glikol dikenal sebagai bahan yang relatif tidak beracun dan diserap dengan cepat dalam saluran pencernaan. Selain itu, propilen glikol juga diserap secara topikal ketika dioleskan ke kulit yang rusak. Senyawa ini secara ekstensif dimetabolisme di hati, terutama menjadi asam laktat dan asam piruvat, dan juga diekskresikan tidak berubah dalam urin. Untuk obat-obat topikal, propilen glikol bersifat iritan minimal meskipun lebih mengiritasi dibandingkan gliserin. Penggunaan propilen glikol secara parenteral dapat menyebabkan rasa sakit atau iritasi ketika propilen glikol digunakan dalam konsentrasi tinggi.

Propilen glikol memiliki sifat memabukkan sepertiga kali dibandingkan dengan etanol, dengan pemberian dalam volume besar dikaitkan dengan efek samping yang paling umum pada sistem saraf pusat, terutama pada neonatus dan anak-anak. Efek samping lain yang dapat timbul meskipun jarang terjadi akibat penggunaan propilen glikol termasuk: gangguan pendengaran (ototoksisitas), efek kardiovaskular, kejang; hiperosmolaritas dan asisdosis laktat yang keduanya paling sering terjadi pada pasien dengan gangguan ginjal. Efek samping lebih mungkin terjadi setelah konsumsi propilen glikol dalam jumlah besar atau pemberian untuk neonatus, anak di bawah 4 tahun, wanita hamil dan pasien dengan gagal hati atau ginjal. Efek samping yang buruk juga dapat terjadi pada pasien yang diobati dengan disulfiram atau metronidazol. Berdasarkan data metabolik dan toksikologi, WHO telah menetapkan asupan harian propilen glikol yang dapat diterima hingga 25 mg/kg berat badan.

2. Etilen dan dietilen glikol

Etilen dan dietilen glikol merupakan monomer dan dimer dari polietilen glikol (PEG). PEG sendiri merupakan senyawa yang banyak digunakan dalam berbagai formulasi obat, termasuk parenteral, topikal, sediaan mata, oral, dan dubur.

Polietilen glikol bersifat hidrofilik yang stabil dan tidak mengiritasi kulit. Selain itu, PEG juga tidak mudah menembus kulit serta mudah dihilangkan dari kulit dengan mencuci sehingga sangat bermanfaat sebagai basis salep. Campuran polietilen glikol juga biasa digunakan sebagai basis dalam pembuatan supositoria karena memiliki banyak keunggulan dibandingkan lemak. Misalnya, supositoria dengan basis PEG memiliki titik leleh yang lebih tinggi sehingga tahan terhadap paparan iklim yang lebih hangat dan menghasilkan stabilitas fisik yang lebih baik pada penyimpanan. Selain itu PEG juga mudah bercampur dengan cairan rektal sehingga menghasilkan pelepasan obat yang lebih baik dibandingkan basis lemak.

Polietilen glikol dengan bobot molekul rendah juga dapat digunakan baik sebagai bahan pensuspensi maupun pengatur kekentalan suatu sediaan obat. Ketika digunakan bersama pengemulsi lain, polietilen glikol dapat bertindak sebagai penstabil emulsi. Selain sebagai pengemulsi dan pengatur kekentalan, PEG juga digunakan sebagai pelarut untuk isi kapsul gelatin lunak. Untuk penggunaan PEG sebagai pembawa dalam sediaan injeksi, digunakan PEG dengan konsentrasi hingga sekitar 30% v/v.

Dalam formulasi obat padat, PEG dengan berat molekul lebih tinggi dapat meningkatkan efektivitas pengikat tablet dan memberikan plastisitas pada butiran. Selain itu PEG juga ditambahkan dalam tablet hisap untuk pelepasan obat long-acting.

Polietilen glikol juga dapat digunakan untuk meningkatkan karakteristik kelarutan atau disolusi senyawa yang sukar larut dengan membuat dispersi padat dengan polietilen glikol yang sesuai.

Berbeda dengan PEG yang memiliki banyak manfaat dalam obat-obatan, etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) justru bersifat sebagai racun. Khususnya EG, senyawa ini biasa digunakan sebagai seperti antibeku dan pendingin di mobil, cairan pelapis untuk kaca depan mobil dan pesawat terbang, pengering untuk produksi gas alam, dan bahan dasar untuk pembuatan serat poliester dan resin.

Pada dasarnya EG memiliki tingkat toksisitas yang rendah, tetapi EG menghasilkan metabolit yang beracun. Bahkan, dalam jumlah kecil pun EG akan dimetabolisme dengan cepat menjadi metabolit intermediet di hati oleh alkohol dehidrogenase (ADH) atau enzim hati lainnya menjadi glikolaldehida, asam glikolat (GA), dan asam glioksilat.

Pada akhirnya, asam glioksilat dapat diubah menjadi asam oksalat, yang mengendap di ginjal dan jaringan lain jika bertemu dengan kalsium dalam bentuk kristal kalsium oksalat. Kristal kalsium oksalat inilah yang dicurigai sebagai penyebab utama GGAA karena bersifat tajam dan bisa merusak sistem ginjal.

Pemerintah Indonesia sendiri melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah melarang penggunaan EG dan DEG dalam produk obat, kosmetik maupun makanan. Lantas, mengapa bisa dicurigai ada EG dan DEG dalam sirup obat?

Kemungkinan terbesar hal ini terjadi karena 2 hal, yaitu:

A. Kontaminasi

Hal ini karena EG dan DEG merupakan senyawa kontaminan yang bisa ditemukan dalam gliserin/gliserol, sorbitol dan propilen glikol. Pada tahun 1937, pernah terjadi wabah keracunan DEG di Amerika Serikat, yang diakibatkan oleh cemaran DEG dalam pelarut eliksir sulfanilamida. Sebanyak 107 orang meninggal, dansebagian besar dari mereka adalah anak-anak. Hal yang sama Kembali terjadi pada akhir 1995 dan awal 1996, dimana banyak anak dirawat di rumah sakit di Port-au-Prince, Haiti, yang disebabkan oleh gagal ginjal mendadak, yang mengakibatkan sedikitnya 80 kematian. Sebuah penyelidikan oleh pejabat kesehatan Haiti, Pusat Pengendalian Penyakit (CDC), dan FDA menemukan bahwa penyebabnya adalah gliserin yang terkontaminasi DEG dalam sirup paratamol. Antara tahun 1990 dan 1998, insiden serupa keracunan DEG terjadi di Argentina, Bangladesh, India, dan Nigeria dan mengakibatkan kematian ratusan anak. BPOM sendiri telah mempersyaratkan bahwa kandungan maksimal EG dan DEG dalam bahan baku gliserin adalah 0.1 %

B. Degradasi

EG maupun DEG bisa terbentuk karena degradasi atau penguraian dari PEG dan sorbitol. PEG dan sorbitol bisa terurai menjadi EG dan DEG karena pengaruh temperatur, sinar matahari, maupun bakteri.

Dengan demikian, semoga kejadian ini menjadikan kita semua untuk lebih berhati-hati dalam penggunaan obat. Terutama ingat DAGUSIBU obat, yaitu:

DApatkan obat hanya ditempat dan melalui jalur resmi, GUnakan obat sesuai dosis dan indikasinya, SImpan obat ditempat sejuk dan terhindar dari sinar matahari langsung serta BUang obat jika sudah melewati waktu kadaluarsa atau terjadi perubahan warna, bau atau rasanya.

Referensi:

Anonim, 2020, Farmakope Indonesia, Ed VI, Kemenkes RI, Jakarta.

Giroto,J.A., Teixeira , A.C.S.C., Nascimento, C.A.O.,Guardani, R., 2010, Degradation of Poly(ethylene glycol) in Aqueous Solution by Photo-Fenton and H2O2/UV Processes, Ind. Eng. Chem. Res. 2010, 49, 7, 3200–3206.

Holloway, G., Maheswaran, R., Leeks, A., Bradby,S., Wahab, S., 2010, Screening Method for Ethylene Glycol and Diethylene Glycol in Glycerin-Containing Products. J. Pharm. Biomed. Anal., 51(2010), 507–511.

https://www.who.int/news/item/05-10-2022-medical-product-alert-n-6-2022-substandard-(contaminated)-paediatric-medicines

Rowe, R.C., Sheskey, P.J., Quinn, M.E., 2017, Handbook of Pharmacuetical Excipients, 6th edition, Pharmaceutical Press, London.