Ethylene-glycol

Fomepizole sebagai antidot ethylene glycol dan diethylene glycol?

Merebaknya kasus AKI (Acute Kidney Injury) pada anak-anak di Indonesia yang diduga karena adanya cemaran ethylene glycol dan diethylene glycol pada sirup Parasetamol, membuat resah dan kebingungan masyarakat dalam menangani gejala demam, batuk, pilek ataupun sakit lainnya pada anak-anak. Hal tersebut disebabkan penggunaan bentuk sediaan sirup pada anak-anak adalah yang paling mudah diberikan agar obat dapat diminum oleh anak-anak dan bayi yang masih kesulitan menelan apabila digunakan bentuk sediaan padat lainnya seperti tablet ataupun puyer.  Ethylene glycol berdasarkan FDA (Food and Drug Administration) di Amerika Serikat masih tergolong Kelas 2 sebagai pelarut residual (pengotor) dalam industri obat dengan PDE (Permitted Daily Exposure) atau paparan penggunaan harian yang diperbolehkan sebesar 6,2 mg/hari dan batas konsentrasi 620 ppm1. Sedangkan diethylene glycol berdasarkan FDA Guidance serupa dengan Farmakope Indonesia Edisi VI menyebutkan bahwa cemaran ethylene glycol maupun diethylene glycol dalam gliserin, masing-masing tidak boleh lebih dari 0,1% dan total cemaran tidak boleh lebih dari 1%2.

1. Apa itu ethylene glycol dan diethylene glycol?

Ethylene glycol atau juga disebut sebagai 1,2 Ethanediol; 1,2-Ethanediol; 2 Hydroxyethanol; 2-Hydroxyethanol; Ethylene glycol; Glycol, Ethylene; Glycol, Monoethylene; atau Monoethylene glycol adalah cairan yang jernih, berasa manis, tidak berwarna dan tidak berbau yang banyak digunakan sebagai antifreeze dalam sistem pendingin dan pemanas, dalam cairan rem hidrolik, sebagai bahan kondensor elektrolitik, sebagai pelarut dalam industri plastik dan cat, dalam formulasi tinta printer dan tinta bolpoin, dalam kosmetik (hingga 5%), bahan pelunak untuk plastic, serat sintetis, dan lilin sintetis3.

Diethylene glycol atau juga disebut sebagai di(hidroksietil) eter adalah cairan tidak berwarna, yang iritan (dapat mengiritasi) terhadap kulit, mata maupun selaput lendir apabila terjadi kontak/paparan. Diethylene glycol digunakan untuk pembuatan polyurethane resin dengan taat pada panduan FDA yang berlaku (21 CFR 177.1680 ), pengecualian penggunaan produk yang kontak dengan susu formula ataupun dengan air susu ibu4.

2. Bagaimana saya bisa terpapar ethylene glycol dan diethylene glycol?

a. Ethylene glycol

Kita bisa terkena paparan ethylene glycol dari inhalasi (menghirup) zat tersebut, ataupun terjadi kontak pada kulit atau mata, atau juga bisa dengan mengkonsumsi zat tersebut (misal terdapat dalam sirup obat sebagai cemaran). Ethylene glycol tidak dapat terhirup pada suhu  kamar karena memiliki volatilitas yang rendah, akan tetapi dapat terjadi jika zat tersebut dipanaskan, diaduk ataupun disemprotkan.  Ethylene glycol tidak berbau, sehingga tidak dapat memberikan peringatan konsentrasi berbahaya. Ethylene glycol hanya sedikit mengiritasi pada kulit, mata, dan selaput lender, dan dapat diserap secara perlahan pada kulit. Ethylene glycol diserap dengan cepat setelah tertelan. Konsumsi ethylene glycol menyebabkan toksisitas sistemik yang dimulai dari sistem saraf pusat (otak dan tulang belakang), diikuti dengan efek kardiopulmoner (jantung dan paru-paru), dan akhirnya gagal ginjal5.

b. Diethylene glycol

Paparan diethylene glycol biasanya dari konsumsi zat tersebut (misal karena cemaran terhadap produk sirup obat).

3. Apa saja gejala toksisitas dari ethylene glycol atau diethylene glycol?

Gejala termasuk pusing, ataxia, disorientasi, iritasi, gelisah, nystagmus, sakit kepala, bicara cadel, dan mengantuk. Keracunan parah dapat menyebabkan koma dan kematian5. Setelah tertelan ethylene glycol akan terserap dengan cepat di dalam tubuh (dalam 1-4 jam). Kurang dari 20% diekskresikan (dikeluarkan) tanpa melalui proses metabolisme, sebagian besar mengalami metabolisme dan berubah menjadi senyawa yang sangat toksik. Progresi efek toksik dari ethylene glycol dapat terbagi dalam 3 (tiga) tahap, yaitu:

a. Tahap I (30 menit hingga 12 jam setelah paparan)

Ethylene glycol yang tidak mengalami proses metabolisme menghasilkan depresi terhadap sistem saraf pusat, keracunan, dan hiperosmolaritas yang serupa dihasilkan oleh etanol.

b. Tahap II (dari 12 hingga 48 jam setelah paparan)

Produk metabolit dari ethylene glycol menyebabkan asidosis yang parah dengan kompensasi terjadi hiperventilasi. Asidosis terjadi terutama karena peningkatan asam glikolat (metabolit dari ethylene glycol), dan sebagian kecil karena asam glioksilat, oksalat dan laktat. Terjadi deposit kristal kalsium oksalat pada otak, paru-paru, jantung dan ginjal.

c. Tahap III (dari 24 hingga 72 jam setelah paparan)

Efek toksik metabolit ethylene glycol pada ginjal menyebabkan terjadinya gagal ginjal akut5.

            Bagaimana dengan gejala toksisitas dari diethylene glycol?

            Apabila tertelan menimbulkan gejala seperti nyeri perut, mual, muntah, diare, pusing ataupun kehilangan kesadaran. Diethylene glycol bersifat neurotoxin, hepatotoxin, dan nephrotoxin4.

4. Bagaimana penanganan toksisitas ethylene glycol dan diethylene glycol?

Ethylene glycol adalah depresan sistem saraf pusat mirip dengan etanol. Metabolit ethylene glycol bersifat toksik dan menyebabkan asidosis yang parah, edema serebral, kolaps kardiovaskular, gagal ginjal akut, dan kemungkinan kematian. Penanganan yang cepat dan efektif terdiri atas penanganan suportif, hemodialisis, dan pemberian terapi antidot metabolik seperti etanol atau 4-metilpirazol (fomepizole)5.

Antidot yang diberikan apabila pasien sadar dan baru saja mengkonsumsi ethylene glycol, maka dapat dilakukan induksi emesis dengan menggunakan ipekak. Pada pasien yang tidak sadar dapat dipertimbangkan bilas lambung jika dapat diberikan dalam waktu 1 jam setelah zat tersebut tertelan. Arang aktif sangat sedikit menyerap ethylene glycol, tetapi dapat digunakan jika terdapat kecurigaan menelan beberapa zat kimia. Konsultasi dengan ahli toksikologi medis diperlukan dalam penanganan anion dan osmolar gaps dan untuk memutuskan apakah terapi antidot, natrium bikarbonat intravena, atau hemodialisis diperlukan. Waktu dari mulai tertelannya ethylene glycol hingga penanganan terhadap toksisitas zat tersebut, serta dosis yang tertelan menjadi factor utama prognosis kematian5. Artikel oleh Friedman et al, 1962 tentang kasus keracunan ethylene glycol di Amerika Serikat, dari pasien yang mengkonsumsi ethylene glycol 3-4 ons mengalami kematian, sedangkan pasien dengan konsumsi 1 ons ethylene glycol masih dapat diselamatkan6.

Adapun penanganan toksisitas dari diethylene glycol hampir sama dengan penanganan ethylene glycol dimana diberikan terapi suportif dengan resusitasi cairan kristaloid isotonik dan koreksi terhadap asidosis. Pemberian 4-metilpirazol atau etanol, hemodialsis dan terapi suportif lainnya agar dapat memulihkan pasien4.

5. Beberapa sejarah kasus toksisitas ethylene glycol dan diethylene glycol

Beberapa studi kasus toksisitas ethylene glikol dilaporkan 18966–11 hingga saat ini terjadi di Indonesia. Toksisitas diethylene glikol paling parah terjadi di Amerika Serikat sehingga menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) pada tahun 1937. Hal tersebut terjadi karena konsumsi obat eliksir sulfanilamide dengan pelarut diethylene glycol. Total sebanyak 107 orang meninggal dan kebanyakan adalah anak-anak. Kejadian tersebut menyebabkan berlakunya undang-undang Federal Food, Drug, and Cosmetic Act yang mencakup ketentuan obat-obatan sebelum beredar di masyarakat harus dipastikan keamanannya. Pada akhir tahun 1995 dan awal 1996, di Hawai banyak anak mengalami gagal ginjal akut hingga berakhir fatal pada 80 anak yang disebabkan oleh adanya kontaminasi diethylene glycol pada gliserin di sirup parasetamol12,13. Pada tahun 1995 di Bangladesh juga dilaporkan hal yang sama.9  Pada tahun 2006 di Panama juga dilaporkan kasus toksisitas diethylene glycol yang menyebabkan banyak kasus dengan gagal ginjal dan kematian12. Oleh sebab itu, penting diadakan uji cemaran ethylene glycol dan diethylene glikol pada bahan baku gliserin sebelum formulasi produk obat.

6. Pentingnya farmakovigilans ditegakkan setelah obat dipasarkan pada masyarakat

Farmakovigilans adalah ilmu yang berkaitan dengan deteksi, penilaian, pemahaman, dan pencegahan efek samping atau masalah terkait obat/vaksin lainnya. Semua produk obat dan vaksin telah melalui uji klinis yang sangat ketat untuk menentukan efikasi dan keamanan dalam penggunaannya. Akan tetapi uji klinis ini memiliki keterbatasan dalam hal populasi yang diikutsertakan sebagai subyek uji, serta waktu yang terbatas, sehingga pengawalan terhadap keamanan obat/vaksin lainnya dalam jangka waktu yang panjang tetap dibutuhkan14. Dalam ilmu farmasi, berbeda struktur senyawa kimia, walaupun memiliki nama yang mirip, akan tetapi efek yang ditimbulkan dapat berbeda. Bahkan senyawa yang sama apabila mempunyai produk rasemik juga menimbulkan efek yang berbeda, seperti bencana thalidomide yang terjadi di tahun 1950-an di mana belum terdapat ketentuan uji klinis pada saat itu. Thalidomide digunakan sebagai sedasi/obat tidur, tetapi juga untuk ibu hamil dapat mengurangi keluhan morning sickness. Akan tetapi ternyata thalidomide mempunyai efek teratogenic (berbahaya bagi janin), yang mana bayi yang dilahirkan mengalami phocomelia atau malformasi pada tungkai. Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut ternyata disebabkan thalidomide terdiri atas 2 produk rasemisasi (2 bentuk bayangan cermin), yaitu R-enantiomer dan S-enantiomer, dimana (S)-thalidomide inilah yang bersifat teratogenic, akan tetapi (R)-thalidomide juga dapat berubah menjadi (S)-thalidomide pada kondisi biologis15. Terkait dengan isu yang beredar di masyarakat mengenai zat berbahaya dalam kandungan sirup obat, maka sebagaimana dengan laporan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) mengenai klarifikasi bahan berbahaya dalam sirup, sudah menyebutkan bahwa propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol bukan merupakan bahan berbahaya dan memang digunakan sebagai zat tambahan dalam sirup obat.16 Hal ini menjadi pengingat kembali bahwa pentingnya pengawalan akan keamanan penggunaan obat harus selalu dilakukan. Dan utamanya penting dilakukan edukasi oleh apoteker maupun dokter mengenai hal tersebut agar masyarakat tidak resah.

Daftar Pustaka

  1. U.S. Department of Health and Human Services F and DA. Q3C-Tables and List Guidance for Industry.; 2017. http://www.fda.gov/Drugs/GuidanceComplianceRegulatoryInformation/Guidances/default.htmorhttps://www.fda.gov/BiologicsBloodVaccines/GuidanceComplianceRegulatoryInformation/Guidances/default.htm
  2. KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. FARMAKOPE INDONESIA EDISI VI.; 2020.
  3. PubChem NL of MNC for BI. Ethylene Glycol. Published online 2022. doi:10.5517/cc4cd95
  4. PubChem NL of MNC for BI. DI(Hydroxyethyl)ether. Published online 2022.
  5. ATSDR Agency for Toxic Substances and Disease Registry USD of H& HS. Managing Hazardous Materials Incidents.; 2014.
  6. Friedman EA, Greenberg JB, Merrill JP, Dammin GJ. Consequences of Ethylene Glycol Poisoning* Report of Four Cases and Review of the Literature. Am J Med. 1962;32.
  7. Seo JW, Lee JH, Son IS, et al. Acute oxalate nephropathy caused by ethylene glycol poisoning. Kidney Res Clin Pract. 2012;31(4):249-252. doi:10.1016/j.krcp.2012.09.007
  8. Ting SMS, Ching I, Nair H, Langman G, Suresh V, Temple RM. Early and Late Presentations of Ethylene Glycol Poisoning. American Journal of Kidney Diseases. 2009;53(6):1091-1097. doi:10.1053/j.ajkd.2008.12.019
  9. Hun Song C, Jin Bae H, Rok Ham Y, Ryang Na K, Wook Lee K, Eun Choi D. A case of Ethylene glycol intoxication with acute renal injury: Successful recovery by fomepizole and renal replacement therapy. Electrolyte and Blood Pressure. 2017;15(2):47-51. doi:10.5049/EBP.2017.15.2.47
  10. Jain R, Randev S, Kumar P, Guglani V. Acute Kidney Injury and Encephalopathy in a Child: Diethylene Glycol Poisoning. Indian J Pediatr. 2021;88(2):194-195. doi:10.1007/s12098-020-03557-9
  11. WIDMAN C. A few Cases of Ethylene Glycol Intoxication. Acta Med Scand. 1946;126(4-5):295-306. doi:10.1111/j.0954-6820.1946.tb19021.x
  12. U.S. Department of Health and Human Services F and DA. Guidance for Industry Testing of Glycerin for Diethylene Glycol.; 2007. http://www.fda.gov/cder/guidance/index.htm
  13. O’brien KL, Selanikio JD, Hecdivert C, et al. Epidemic of Pediatric Deaths From Acute Renal Failure Caused by Diethylene Glycol Poisoning. JAMA. 1998;279(15):1175-1180. https://jamanetwork.com/
  14. Shanti Pal, World Health Organization. Regulation and Prequalification.
  15. Tokunaga E, Yamamoto T, Ito E, Shibata N. Understanding the Thalidomide Chirality in Biological Processes by the Self-disproportionation of Enantiomers. Sci Rep. 2018;8(1). doi:10.1038/s41598-018-35457-6
  16. BPOM RI. INFORMASI KEEMPAT HASIL PENGAWASAN BPOM TERHADAP SIRUP OBAT YANG DIDUGA MENGANDUNG CEMARAN ETILEN GLIKOL (EG) DAN DIETILEN GLIKOL (DEG).; 2022. Accessed October 21, 2022. https://www.pom.go.id/new/view/more/klarifikasi/158/INFORMASI-KEEMPAT-HASIL-PENGAWASAN-BPOM-TERHADAP-SIRUP-OBAT-YANG-DIDUGA-MENGANDUNG-CEMARAN-ETILEN-GLIKOL–EG–DAN-DIETILEN-GLIKOL–DEG-.html