
Keterbatasan penelitian pada favipiravir adalah tidak dilakukannya dengan randomized double-blinded uji klinis yang dikendalikan plasebo, sehingga dimungkinkan terjadi bias pada seleksi yang tak terhindarkan dalam perekrutan pasien. Namun, mengingat tingginya jumlah pasien yang datang secara bersamaan dan infektivitas penyakit yang sangat tinggi, secara etis tidak memungkinkan untuk mengondisikan pasien menerima obat eksperimental yang berbeda menggunakan proses pengacakan yang tidak mungkin dipahami oleh sebagian besar pasien. Perlu dijelaskan bahwa durasi pengobatan favipiravir dalam uji klinik ini adalah dua kali lebih lama dari yang digunakan untuk pengobatan influenza. Namun, efek samping pada kelompok eksperimen jarang terjadi dan dapat ditoleransi, dan tidak ada pasien yang perlu menghentikan pengobatan favipiravir. Hasil ini tampaknya menunjukkan bahwa durasi pengobatan favipiravir dapat diperpanjang jika perlu.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Gao dan rekannya yang menggunakan lebih dari 100 pasien menunjukkan hasil bahwa klorokuin fosfat memberikan efek yang lebih baik dibandingkan kontrol dalam penghambatan eksaserbasi pneumonia dan pertumbuhan virus serta memperpendek perjalanan penyakit. Namun, harus dipertimbangkan dengan hati-hati karena belum tersedia data yang mencukupi untuk mendukung hasil ini. Oleh karena itu interpretasi akhir mengharapkan bahwa tanpa adanya data yang dipublikasikan, sulit untuk mencapai kesimpulan yang pasti. Akan sangat penting untuk mengetahui apakah kemanjuran yang diamati terkait secara spesifik dengan klorokuin atau hidroksiklorokuin dalam bentuk garamnya (fosfat atau sulfat). Selanjutnya juga penting untuk ditentukan apakah manfaat terapi klorokuin tergantung pada klasifikasi usia atau stadium penyakit.
Namun untuk mendapatkan uji klinik yang lengkap tidak hanya cukup menggunakan uji pada pasien tetapi harus mendapatkan informasi yang lengkap berkaitan efek samping yang dimunculkan oleh penggunaan obat ini. Fase ini yang dikenal dengan uji klinik fase ke IV (post marketing survailance).
Strategi terapi yang potensial terhadap COVID-19
Pada awalnya, nebulisasi interferon-α, antibiotik spektrum luas, dan obat anti-virus dapat digunakan untuk mengurangi jumlah virus dalam tubuh, namun, hanya remdesivir yang menunjukkan dampak yang menjanjikan terhadap virus. Remdesivir tunggal dan dalam kombinasinya dengan klorokuin atau interferon beta secara signifikan mampu menghambat replikasi SARS-CoV-2 sehingga pasien dinyatakan sembuh secara klinis. Berbagai anti-virus lain saat ini sedang dievaluasi melawan infeksi diantaranya adalah Nafamostat, Nitazoxanide, Ribavirin, Penciclovir, Favipiravir, Ritonavir, AAK1, Baricitinib, dan Arbidol menunjukkan hasil yang memuaskan ketika diuji terhadap infeksi pada pasien dan isolat klinis in-vitro.
Baru-baru ini di Shanghai, dokter mengisolasi plasma darah dari pasien COVID-19 yang telah pulih secara klinis dan menyuntikkannya pada pasien yang terinfeksi. Hasilnya positif dengan pemulihan yang cepat. Dalam sebuah penelitian baru-baru ini, diidentifikasi bahwa antibodi monoklonal (CR3022) mampu berikatan dengan lokasi pengikatan reseptor dari SARS-CoV-2. CR3022 memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai kandidat terapeutik, baik tunggal atau dalam kombinasi dengan antibodi penawar lain untuk pencegahan dan pengobatan infeksi COVID-19.
Penulis: Dr. apt. Yandi Syukri, S.Si, M.Si. (Dosen Farmasi dan Peneliti pada Nanopharmacy Research Centre Jurusan Farmasi Universitas Islam Indonesia)
Sumber bacaan:
[1] Y. Duan, H.-L. Zhu, C. Zhou, Drug Discov. Today 2020.
[2] A. Cortegiani, G. Ingoglia, M. Ippolito, A. Giarratano, S. Einav, J. Crit. Care 2020.
[3] F. Touret, X. de Lamballerie, Antiviral Res. 2020, 177, 104762.
[4] M. Adnan Shereen, S. Khan, A. Kazmi, N. Bashir, R. Siddique, J. Adv. Res. 2020.
[5] Q. Cai, M. Yang, D. Liu, J. Chen, D. Shu, J. Xia, X. Liao, Y. Gu, Q. Cai, Y. Yang, C. Shen, X. Li, L. Peng, D. Huang, J. Zhang, S. Zhang, F. Wang, J. Liu, L. Chen, S. Chen, Z. Wang, Z. Zhang, R. Cao, W. Zhong, Y. Liu, L. Liu, Engineering 2020.
[6] K. Shiraki, T. Daikoku, Pharmacol. Ther. 2020, 107512.
[7] C. A. Devaux, J.-M. Rolain, P. Colson, D. Raoult, Int. J. Antimicrob. Agents 2020, 105938.



Sita mengikuti SEP Winter Season di Polandia yang diadakan atas kolaborasi antara IPSF, PPSA ( Polish Pharmaceutical Student’s Association), dan ISMAFARSI (Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Indonesia). SEP Polandia dilaksanakan selama kurang lebih 20 hari yaitu pada tanggal 25 Februari – 16 Maret 2020. Sita terpilih menjadi delegasi setelah melewati seleksi berkas dan wawancara secara Nasional oleh CEO ISMAFARSI Students Exchange. Kegiatan utama dalam program ini adalah praktek kerja profesional di berbagai bidang kefarmasian, diantaranya yakni Farmasi Komunitas, Farmasi Rumah Sakit, Farmasi Industri, Kesehatan Pemerintahan dan Riset. Sita memilih praktek kerja di bidang farmasi komunitas, dimana ia ditempatkan di Apotek Rumah Sakit Dr. Jurasz University No.1, Bydgoszcz, Polandia. Ia belajar seputar pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan.


Saat ditemui pada selasa (3/3) , Kristy, panggilan akrabnya, Mahasiswa PSPA UII, mengungkapkan bahwa dirinya tidak menyangka akan mendapatkan nilai UKAI Nasional tertinggi. “Rasanya seperti mimpi” ungkapnya. Kendati demikian, ia sangat bersyukur atas capaian prestasi yang ia dapatkan itu. “Saya tidak pernah menargetkan untuk mendapatkan nilai tertinggi. Target saya ketika menghadapi UKAI yang terpenting bisa lulus dan mendapat nilai yang baik”.