Bu arba

Teliti Kultur Sel Plasmodium Untuk Melawan Malaria

Program Studi Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan workshop Plasmodium Cell Culture pada Sabtu (13/8). Workshop ini digelar hampir bersamaan dengan keberhasilan Laboratorium Mikrobiologi Farmasi UII membangun fasilitas untuk sel kultur. Oleh karena itu, workshop ini dirancang selama 2 hari. Selain diisi dengan kegiatan peresmian Laboratorium Kultur Farmasi dan diskusi mengenai sel, workshop juga mengulas pengujian plasmodium sel.

Apt. Arde Toga Nugraha, M.Sc. selaku kepala laboratorium Mikrobiologi Program Studi Farmasi UII dalam sambutannya mengatakan bahwa keberhasilan membangun fasilitas untuk sel kultur ditujukan untuk meningkatkan penelitian dan riset di lingkungan UII.

Ia menambahkan, “Ide memulai menciptakan laboratorium sel kultur dimulai dari pandemi, dan keberhasilan membangun fasilitasi evaluasi sel kultur merupakan bentuk komitmen dan usaha dari kami untuk terus berusaha belajar dan bekerja sama dalam keberhasilan membangun fasilitas sel kultur tersebut”.

Lebih lanjut, Apt. Suci Hanifah, S.F., M.Si., Ph.D. selaku Sekretaris Jurusan Farmasi UII turut memberikan apresiasi kepada peserta yang telah mengikuti undangan workshop plasmodium sel kanker. “Acara workshop yang digelar merupakan waktu yang baik untuk berkolaborasi dalam penelitian plasmodium sel kultur dengan para peserta yang hadir dan bersama-sama belajar merasakan dan mendapatkan pengalaman dalam acara workshop sel kultur”, ungkapnya.

Selanjutnya, Prof. Dr. apt. Mustofa, M.kes. selaku Direktur Penelitian Universitas Gadjah Mada (UGM) menjelaskan materi mengenai penemuan dan pengembangan obat antimalaria. Ia memaparkan bahwa anti malaria merupakan pengobatan malaria dengan membunuh semua parasit yang ada dalam tubuh manusia.

Ribuan tahun lalu, obat herbal tradisional berasal dari kulit pohon kina yang efektif dalam mengobati malaria. Kemudian, perkembangan beberapa obat malaria muncul. Beberapa obat antimalaria seperti artemisinin yang terbuat dari bahan alam memiliki resistensi yang lebih cepat yakni sekitar enam tahun. Tujuannya agar mengetahui bahwa status parasit yang terjangkit pada manusia resisten/sensitif terhadap obat antimalaria, sehingga pemberian obat bisa secara cepat dan tepat.

“Pada tahun 2006,  WHO merekomendasikan artemisinin untuk terapi lini pertama malaria. Dan semakin didukung oleh Melinda Gates dan Margaret Chan dalam pemberantasan malaria di seluruh dunia”, ungkapnya.

Sementara itu, Dr. apt. Arba Pramundita Ramadani menguraikan mengenai kultur sel dan bagaimana bagaimana menjaga kultur sel tersebut agar tetap hidup. “Proses dimana sel-sel tumbuh di bawah kondisi yang terkendali, umumnya di luar alami dari sel tersebut. Setelah sel yang diinginkan diisolasi dari jaringan hidup maka selanjutnya dapat dipelihara dengan hati-hati dalam kondisi yang terkendali”, jelasnya.

Kondisi yang dapat dikendalikan dalam menjaga kultur sel dilihat dari beberapa hal seperti, penggunaan dari bahan dan peralatan, ruangan atau lingkungan bekerja, dan orang yang melakukan kultur sel tersebut. Materi yang disampaikan tersebut merupakan gambaran dan teori awal mengenai alat, aturan, hal yang perlu diperhatikan untuk para peserta workshop saat melakukan fokus pengujian ukuran hasil langsung di laboratorium sel kultur pada hari kedua.

Kemudian, disampaikan Apt. Sista Werdyani, M.Biotech. Selaku kepala laboratorium Kimia Farmasi menerangkan mengenai pengujian aktivitas Antiplasmodium. Beliau menjelaskan bahwa terdapat 4 spesies parasit malaria yang menginfeksi manusia, yakni plasmodium falciparum, plasmodium vivax, plasmodium malaria, dan plasmodium ovale.

“Plasmodium hidup pada sel darah manusia. Selain plasmodium falciparum, plasmodium lainnya menyebabkan sel darah merah membesar bahkan berubah bentuk. Biasanya pembeda spesies parasit malaria yang membedakan adalah bentuk gametositnya, dan setiap jenis parasit tersebut akan melewati tiga stadium, yang terdiri dari tropozoit, skizofrenia, dan gametosit,” jelasnya.

Dia juga menjelaskan bahwa parasit yang menginfeksi manusia berasal dari nyamuk betina, dan parasit plasmodium tersebut dapat dikultur dikarenakan parasit yang yang terinfeksi pada manusia menunjukkan siklus hidup yang kompleks yang melibatkan siklus pembelahan aseksual.

“Setelah kita mengetahui dan mempelajari  bahwa bentuk sistem saat parasit tersebut ditularkan dan membentuk siklus hidup, maka siklus hidup tersebut kita pindahkan siklus hidupnya ke dalam kultur sel,” jelasnya. (PN/ESP)