Standar Kualitas Di Industri Farmasi: Menjaga Kepercayaan Konsumen Dalam Prespektif Agama Islam

Standar Kualitas Di Industri Farmasi: Menjaga Kepercayaan Konsumen Dalam Prespektif Agama Islam

ABSTRAK

Peran apoteker yang bekerja di industri farmasi sangat penting untuk memastikan kualitas, keamanan, dan efektivitas produk farmasi yang dihasilkan. Tugas utama seorang apoteker di industri farmasi melibatkan berbagai aspek mulai dari riset dan pengembangan, produksi, kontrol kualitas produk, hingga sistem mutunya. Industri farmasi memiliki standar dan regulasi yang ditetapkan oleh regulator. Apoteker di industri farmasi harus memastikan setiap langkah dalam pembuatan produk mematuhi regulasi yang berlaku. Kepatuhan terhadap Good Manufacturing Practice (GMP) sangat penting untuk memastikan produk yang beredar di pasaran itu aman, berefek, dan berkualitas. Pembuatan obat yang tidak sesuai dengan standar GMP merupakan bentuk kecurangan dalam perdagangan menurut ajaran Islam. Tindakan kecurangan yang dilarang keras oleh Islam, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an dan hadis. Islam mengajarkan kejujuran dalam setiap transaksi, termasuk dalam pembuatan dan penjualan obat, karena kecurangan dalam timbangan, takaran, atau kualitas produk bukan hanya merugikan secara material, tetapi juga berdampak pada kesehatan dan keselamatan orang lain.

Kata Kunci: Industri Farmasi; CPOB; GMP; Kecurangan Berdagang; Jual-Beli Islam

  1. STANDAR MUTU INDUSTRI FARMASI

Good Manufacturing Practice (GMP) adalah serangkaian pedoman atau standar yang dirancang untuk memastikan bahwa produk farmasai yang diproduksi secara konsisten dan terjamin keamanannya. Di Indonesia, penerapan GMP diawasi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai otoritas yang bertanggung jawab untuk menjaga keamanan konsumen. Kepatuhan terhadap GMP sangat penting untuk memastikan produk yang beredar di pasar tidak hanya berkualitas tinggi tetapi juga aman bagi masyarakat. Acuan GMP yang berlaku di Indonesia ada bermacam-macam sesuai dengan kategori produk yang diproduksi, meliputi CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) untuk produksi obat, CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik), CPKB (Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik), CPAKB (Cara Pembuatan Alat Kesehatan yang Baik), dan CPPKRTB (Cara Pembuatan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga yang Baik). Dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran masyarakat Indonesia terhadap keamanan produk, terutama makanan dan obat-obatan, semakin meningkat. GMP menjadi landasan utama bagi produsen untuk mempertahankan kualitas dan keamanan produk. Penerapan GMP yang ketat dapat mencegah produk cacat atau berbahaya masuk ke pasar, yang berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat.

Penerapan GMP yang baik memiliki dampak positif bagi industri dan konsumen. Bagi produsen, GMP dapat meningkatkan reputasi dan kepercayaan konsumen, sehingga membuka peluang ekspor yang lebih luas. Sementara itu, bagi konsumen, produk yang dihasilkan dengan mematuhi GMP memiliki jaminan keamanan dan kualitas yang lebih baik. Secara keseluruhan, kepatuhan terhadap GMP di Indonesia menjadi kunci penting untuk menjamin keamanan produk-produk yang beredar di pasar, melindungi kesehatan konsumen, serta meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global. Aspek-aspek GMP untuk industri farmasi secara garis besar mencakup manajemen mutu, personalia, bangunan dan fasilitas, peralatan, sanitasi dan hygiene, produksi, pengawasan mutu, inspeksi diri, keluhan dan penarikan, dokumentasi, kontrak, kualifikasi, dan validasi.

GMP berlaku untuk tahapan siklus hidup mulai dari pembuatan produk obat investigasi, transfer teknologi, produksi komersial hingga penghentian produk. Namun demikian, Sistem Mutu Farmasi dapat diperluas hingga tahap siklus pengembangan farmasi seperti yang dijelaskan dalam ICH Q10, yang meskipun bersifat opsional, harus memfasilitasi inovasi dan peningkatan berkelanjutan serta memperkuat hubungan antara pengembangan farmasi dan kegiatan manufaktur.

GMP adalah bagian dari manajemen mutu yang memastikan bahwa produk secara konsisten diproduksi dan dikendalikan sesuai dengan standar kualitas sesuai dengan tujuan penggunaannya dan sebagaimana disyaratkan oleh otorisasi pemasaran, otorisasi uji klinis atau spesifikasi produk. cara pembuatan obat yang baik berkaitan dengan produksi dan kendali mutu. persyaratan dasar dari gmp adalah bahwa semua proses produksi didefinisikan dengan jelas, ditinjau secara sistematis berdasarkan pengalaman dan terbukti mampu secara konsisten memproduksi produk obat dengan kualitas yang dibutuhkan dan sesuai dengan spesifikasinya.

Produk yang dihasilkan dari industri farmasi harus berkualitas. Parameter produk berkualitas terdiri dari tiga aspek utama: safety (keamanan), efficacy (khasiat), dan quality (mutu).

  • Safety (Keamanan): Produk yang aman tidak menimbulkan efek samping atau bahaya bagi konsumen selama penggunaan sesuai petunjuk. Untuk memastikan keamanan, produk harus melalui pengujian yang ketat dan memenuhi standar regulasi yang berlaku di tiap negara. Misalnya, dalam produk farmasi, keamanan adalah prioritas utama untuk melindungi kesehatan pengguna.
  • Efficacy (Khasiat): Khasiat merujuk pada kemampuan produk untuk memberikan hasil yang dijanjikan atau diharapkan. Produk yang efektif harus menunjukkan manfaat yang signifikan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Pada produk kesehatan, ini berarti produk harus mampu memberikan hasil terapi yang optimal tanpa menimbulkan risiko yang tidak diinginkan.
  • Quality (Mutu): Mutu mencakup konsistensi, stabilitas, dan kepatuhan terhadap spesifikasi yang ditetapkan. Produk berkualitas tinggi harus diproduksi menggunakan bahan-bahan pilihan, teknologi yang baik, serta di bawah pengawasan standar industri yang ketat. Mutu juga melibatkan aspek seperti daya tahan, estetika, dan kenyamanan dalam penggunaan.

Gambar 1. Model Sistem Mutu Farmasi Menurut ICH Q10

Pada Gambar 1 mengilustrasikan fitur-fitur utama dari model Sistem Mutu Farmasi (Pharmaceutical Quality System/PQS) ICH Q10. PQS mencakup seluruh siklus hidup produk termasuk pengembangan farmasi, transfer teknologi, produksi komersial, dan penghentian produk seperti yang diilustrasikan pada bagian atas diagram. PQS melengkapi GMP regional seperti yang diilustrasikan dalam diagram. Diagram tersebut juga menggambarkan bahwa GMP regional berlaku untuk pembuatan produk. Garis horizontal berikutnya menggambarkan pentingnya tanggung jawab manajemen untuk semua tahap siklus hidup produk. Garis horizontal berikut mencantumkan elemen PQS yang berfungsi sebagai pilar utama dalam model PQS. Elemen-elemen ini harus diterapkan secara tepat dan proporsional pada setiap tahap siklus hidup dengan mengenali peluang untuk mengidentifikasi area-area yang perlu ditingkatkan secara terus-menerus. Bagian bawah batang horizontal menggambarkan faktor pendukung: manajemen pengetahuan dan manajemen risiko kualitas, yang dapat diterapkan di seluruh tahap siklus hidup. Faktor-faktor pendukung ini mendukung tujuan PQS untuk mencapai realisasi produk, menetapkan dan mempertahankan kondisi kontrol, dan memfasilitasi peningkatan yang berkesinambungan.

Ketika produsen obat mengabaikan standar ini, misalnya dengan menggunakan bahan yang tidak berkualitas, mengurangi dosis bahan aktif, atau melewati proses kontrol kualitas, mereka secara langsung merugikan konsumen. Konsumen berhak mendapatkan produk yang berkualitas. Hal ini juga telah diatur secara hukum sesuai perlindungan konsumen UU RI No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Perlindungan konsumen bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha, dan meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin.

Dalam Undang-Undang ini juga diatur kewajiban pelaku usaha. Pelaku usahan harus memiliki itikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, harus memenuhi atau sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaku usaha harus memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Kesesuaian dengan berat bersih, isi bersih, dan jumlah terhadap label produk. Pelaku usaha harus menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

  1. KECURANGAN BERDAGANG DALAM PRESPEKTIF ISLAM

Islam mengatur hubungan erat antara akhlak, akidah, ibadah, dan muamalah. Muamalah berperan sebagai pedoman bagi manusia dalam menjalani kehidupan sosial, sekaligus menjadi dasar dalam membangun sistem ekonomi yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Ajaran muamalah mencegah manusia untuk menggunakan segala cara dalam mencari rezeki. Muamalah menuntun agar rezeki diperoleh dengan cara yang halal dan baik. Untuk menghindari kerugian, setiap orang diharuskan memenuhi kebutuhannya dengan saling ketergantungan, karena tidak mungkin hidup tanpa adanya transaksi. Inilah yang memunculkan praktik jual beli. Perdagangan yang didasarkan pada prinsip kejujuran, yang berpedoman pada nilai-nilai agama Islam dan aspek spiritual yang selalu hadir dalam pelaksanaannya, akan memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat. Namun, perdagangan yang dilakukan secara tidak jujur, yang mengandung unsur penipuan (gharar), akan menyebabkan kerugian bagi salah satu pihak. Praktik semacam itu jelas dilarang dalam Islam.

Dalam konteks farmasi, kecurangan ini bisa terjadi jika produsen atau apoteker mengabaikan kualitas obat yang dihasilkan, misalnya dengan menggunakan bahan baku yang tidak layak, mengurangi dosis bahan aktif, atau tidak mematuhi standar keamanan. Perbuatan seperti ini akan merugikan konsumen dan melanggar ajaran Islam tentang kejujuran. Semua bentuk kecurangan ini bukan hanya melanggar regulasi industri farmasi, tetapi juga merupakan pelanggaran etika dan nilai-nilai keagamaan. Rasulullah SAW telah memberikan peringatan keras terhadap kecurangan dalam perdagangan, termasuk dalam hal menimbang dan menakar, yang relevan dalam proses produksi obat.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ ۝١

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar” (QS: At-Taubah 119)

اَوۡفُوا الۡـكَيۡلَ وَلَا تَكُوۡنُوۡا مِنَ الۡمُخۡسِرِيۡنَ​ۚ‏ ١٨١ وَزِنُوۡا بِالۡقِسۡطَاسِ الۡمُسۡتَقِيۡمِ​ۚ‏ ١٨٢

Artinya: “Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu merugikan orang lain. dan timbanglah dengan timbangan yang benar” (QS: Ash-Shu’ara 181-182).

وَيۡلٌ لِّلۡمُطَفِّفِيۡنَۙ‏١ الَّذِيۡنَ اِذَا اكۡتَالُوۡا عَلَى النَّاسِ يَسۡتَوۡفُوۡنَ٢ وَاِذَا كَالُوۡهُمۡ اَوْ وَّزَنُوۡهُمۡ يُخۡسِرُوۡنَ٣

Artinya: “Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi” (QS: Al-Mutaffifin 1-3).

Allah memberikan peringatan tegas kepada mereka yang curang dalam hal timbangan dan takaran. Orang-orang yang berbuat curang akan mendapatkan kebinasaan, karena tindakan tersebut merugikan banyak pihak. Hukuman dan kehinaan besar pada hari kiamat akan menanti mereka yang curang dalam menimbang dan menakar. Ancaman ini Allah sampaikan kepada orang-orang yang melakukan kecurangan dalam perdagangan di Mekah dan Madinah pada masa itu.

Dikisahkan bahwa di Madinah, ada seorang pria bernama Abu Juhainah. Ia memiliki dua jenis takaran, satu besar dan satu kecil. Ketika membeli gandum atau kurma dari petani, ia menggunakan takaran besar, namun saat menjualnya ke orang lain, ia memakai takaran kecil. Perbuatan ini mencerminkan sifat serakah, ingin meraup keuntungan pribadi meskipun harus merugikan orang lain. Mereka yang curang dalam menakar dan menimbang akan kehilangan kesuburan tanah dan terkena kemarau. Mereka yang menahan zakat akan diazab dengan tertahannya hujan (Riwayat ath-Thabrani dari Ibnu ‘Abbas).

Hukum jual beli barang yang cacat tetapi cacat tersebut tidak dijelaskan kepada pembeli adalah haram karena mengandung unsur penipuan (gharar). Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa menipu, maka ia bukan dari golongan kami” (HR. Muslim). Allah menjelaskan perilaku orang yang akan menjadi penghuni neraka. Mereka adalah orang-orang yang ingin dipenuhi takaran atau timbangannya Ketika membeli karena tidak mau rugi. Sebaliknya, apabila menjual kepada orang lain, mereka akan mengurangi takaran atau timbangannya.

Orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan mendapat dosa yang besar karena dengan perbuatan itu, dia dianggap telah memakan harta orang lain tanpa kerelaan pemiliknya. Allah melarang perbuatan yang demikian itu. Allah berfirman:

وَلَا تَاۡكُلُوۡٓا اَمۡوَالَـكُمۡ بَيۡنَكُمۡ بِالۡبَاطِلِ وَتُدۡلُوۡا بِهَآ اِلَى الۡحُـکَّامِ لِتَاۡکُلُوۡا فَرِيۡقًا مِّنۡ اَمۡوَالِ النَّاسِ بِالۡاِثۡمِ وَاَنۡـتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ

Artinya: “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui” (QS: Al-Baqarah 188)

Menerima keuntungan usaha dengan cara yang batil akan mendatangkan berbagai kerugian, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, keuntungan yang diperoleh secara tidak halal dapat merusak reputasi, menyebabkan hilangnya kepercayaan, dan menimbulkan konflik sosial. Di sisi spiritual, harta yang diperoleh dengan cara yang batil tidak mendatangkan berkah, bahkan bisa membawa kesulitan hidup. Di akhirat, perbuatan ini akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, dan dapat menghalangi seseorang dari rahmat serta ganjaran surga.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا ۝٢٩

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu” (QS: An-Nisa ayat 29).

Kecurangan dalam memproduksi obat dapat mengurangi berkah dari pekerjaan dan rezeki yang diperoleh dari industri farmasi sebagai produsen. Dalam perspektif Islam, tindakan ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip keadilan dan ketulusan dalam berdagang, sebagaimana ditegaskan dalam hadist Nabi Muhammad SAW yang melarang segala bentuk penipuan (gharar) dalam perdagangan. Oleh karena itu, memastikan kepatuhan terhadap GMP bukan hanya kewajiban profesional, tetapi juga tanggung jawab moral dan spiritual dalam menjalankan bisnis yang berkah dan halal.

  1. PENUTUP

Pekerjaan di bidang farmasi dapat selaras dengan prinsip-prinsip agama yang mengajarkan kejujuran dan keadilan. Sebagai seorang apoteker, kita harus memegang teguh prinsip kejujuran dalam menjalankan tugas dengan memastikan bahwa obat yang diproduksi memenuhi standar kualitas yang tinggi, sehingga masyarakat dapat terhindar dari kerugian dan bahaya. Dengan mematuhi standar industri farmasi dan menjunjung tinggi prinsip kejujuran, apoteker tidak hanya memenuhi tanggung jawab profesional, tetapi juga menjalankan dakwah tentang pentingnya integritas dalam berdagang. Kualitas obat yang baik adalah cerminan dari komitmen terhadap kejujuran, yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Daftar Pustaka

  1. Jagric T, Liu W, Birge J, Qin L, Sun Y, Chen H, et al. Characteristics, risk management and GMP standards of pharmaceutical companies in China. Front Public Health. 2023;01–14.
  2. Pharmaceutical Quality for the 21st Century A Risk-Based Approach Progress Report. USA; 2007.
  3. Haleem RM, Salem MY, Fatahallah FA, Abdelfattah LE. Quality in the pharmaceutical industry – A literature review. Vol. 23, Saudi Pharmaceutical Journal. Elsevier B.V.; 2015. p. 463–9.
  4. Winarni LN. ASAS ITIKAD BAIK SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN. Jurnal Ilmu Hukum. 2015;11(21):1–12.
  5. Presiden RI. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Jakarta. 1999.
  6. Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta;BPOM RI, 2024.
  7. Permenkes NOMOR 1799/MENKES/PER/XII/2010: Industri Farmasi. Jakarta; 2010.
  8. Good manufacturing practice. Amsterdam; 2023.
  9. Current Good Manufacturing Practice (CGMP) Regulations. United States; 2023.
  10. ICH Guideline Q10 on Pharmaceutical Quality System. Step 4 version. www.database.ich.org. Diakses pada 22 Oktober 2024.
  11. Fitri A.U, Caesar, S.M., Rejeki, N.M.S., Samudra, M.T., Dewi G. Implementasi Konsep Religius (Diniyah) dan Jujur Dalam Perdagangan. 2010;4(2):136-149.
  12. Dwi Afri Yani, & Fatimah Zahra Chaniago. (2023). KONSEP JUJUR DALAM MUAMALAH. AL-KARIM: Journal of Islamic and Educational Research1(3), 21–26. Retrieved from https://journal.institercom-edu.org/index.php/alkarim/article/view/3
  13. Bharate, S. S., Bharate, S. B., & Bajaj, A. N. (n.d.). Interactions and incompatibilities of pharmaceutical excipients with active pharmaceutical ingredients: a comprehensive review.
  14. Charoo, N. A., Shamsher, A. A. A., Zidan, A. S., & Rahman, Z. (2012). Quality by design approach for formulation development: A case study of dispersible tablets. International Journal of Pharmaceutics, 423(2), 167–178. https://doi.org/10.1016/j.ijpharm.2011.12.024