Ketersediaan Obat pada Era Jaminan Kesehatan Nasional
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sendiri adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial (jkn.kemkes.go.id).
BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) sendiri adalah badan atau perusahaan asuransi yang sebelumnya bernama PT Askes yang menyelenggarakan perlindungan kesehatan bagi para pesertanya. Perlindungan kesehatan ini juga bisa didapat dari BPJS Ketenagakerjaan yang merupakan transformasi dari Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja). Dari masing-masing definisi ini maka bisa disimpulkan bahwa perbedaan diantara keduanya ini adalah bahwa JKN merupakan nama programnya, sedangkan BPJS merupakan badan penyelenggaranya yang kinerjanya nanti diawasi oleh DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional (cermati.com).
JKN memberikan pelayanan kesehatan dari pencegahan hingga pengobatan. Pelayanan kesehatan berupa tindakan preventif yaitu: penyuluhan kesehatan, imunisasi dasar, konseling Keluarga Berencana, dan skrining kesehatan. Dalam hal pelayanan kesehatan berupa pengobatan, masyarakat dapat memilih atau sesuai fasilitas dari kelas I, II, atau III sesuai dengan besaran iuran yang dibayarkan. Sistem iuran yang telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013.
Dimuali sejak Januari 2014 JKN mengalami berbagai persoalan dalam pelaksanaannya, satu di antara yang paling krusial adalah ketersediaan Obat yang sering kali terbatas. Sebagaimana dicatat oleh Kompas.com (22 Desember 2016) berdasarkan penelitian yang dilakukan Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia, setidaknya 42% peserta JKN mengeluarkan biaya pribadi untuk membeli obat, dengan 31% responden adalah pasien yang ada di rumah sakit.
Pengadaan obat bagi pasein peserta JKN diatur dalam formularium nasional (Fornas), namun tidak semua jenis obat masuk dalam daftar Fornas tersebut. Jenis obat yang sering langka pun adalah obat untuk penyakit kanker dan rematoid artritis. Selain itu, persoalan kesulitan akses terhadap obat-obatan ini juga disebabkan oleh ketidakteraturan administrasi rumah sakit. Rumah sakit sering melakukan pemesana obat pada triwulan kedua dan ketiga, sehingga pada waktu tersebut terjadi lonjakan pemesanan obat. Keterlambatan pembayaran obat oleh rumah sakit pun menjadi penyebab kelangkaan obat bagi peserta JKN, keterlambatan tersebut menjadikan rumah sakit masuk daftar hitam para distributor obat. Hal lain yang menyebabkan kelangkaan obat untuk peserta JKN adalah integritas pihak yang berperan dalam pengadaan obat. Adanya tindakan korupsi dalam proses pengadaan obat disinyalir berpengaruh besar terhadap aksesibilatas obat-obatan untuk pasien peserta JKN.
Menurut kajian KPK pada Oktober 2016, ketidakberesan tersebut dimuali sejak dalma proses perencanaan. Obat-obatan yang ditanggng oleh BPJS dikelola melalui e-catalogue. Sering terjadi ketidaksesuaian Formularium Nasional (Fornas) dan e-catalogue, aturan perubahan Fornas berlaku surut melanggar asas kepastian hukum, mekanisme pengadaan obat melalui e-catalogue belum optimal, dan tidak akuratnya Rencana Kebutuhan Obat (RKO) sebagai dasar pengadaan e-catalogue. Selain itu persoalan mengenai ketidaksesuaian daftar obat pada Panduan Praktik Klinis (PPK) FKTP dengan Fornas FKTP, belum adanya aturan minimal kesesuaian Fornas pada formularium RS/Daerah, belum optimalnya monitoring dan evaluasi terkait pengadaan obat, serta Lemahnya koordinasi antar lembaga. KPK mencium persoalan ketersediaan obat ini terjadi sejak perencanaan. Disebutkan, kebutuhan obat banyak yang tidak disampaikan dalam Rencana Kebutuhan Obat (RKO). Akibatnya, kebutuhan obat yang mencapai 5 juta hanya tercantum dalam e-catalogue sebanyak 1 juta. Untuk menutupi defisit obat sebanyak 4 juta, rumah sakit dan puskesmas membeli obat di pasar bebas yang lebih mahal ketimbang di e-catalogue (beritasatu.com).
Beberapa kasus kelangkaan obat untuk pasien peserta JKN ini sudah dilakuakn analisis oleh beberapa akademisi. Di antaranya Aditya Nugraha Nurtantijo, Kuswinarti, dan Deni Kurniadi Sunjaya dalam risetnya yang berjudul Analisis Ketersediaan Obat pada era Jaminan Kesehatan Nasional di Apotek Wilayah Bojonegara Kotamadya Bandung Tahun 2015, disebutkan bahwa pernah terjadi kerugian hingga Rp82 juta pada Juni 2015 karena ada keterlambatan pemberitahuan regulasi baru yang menyebabkan banyak klaim obat tidak diterima oleh BPJS. Selain itu, faktor-faktor yang memengaruhi ketidaktersediaan obat tersebut, yaitu pengadaan obat dari distributor yang memenangkan tender yang tidak sesuai kontrak kerja dengan BPJS; manajemen terutama dari BPJS dalam hal penyetujuan peresepan; sosialisasi program JKN kepada pihak-pihak terkait, antara lain dokter, apotek, dan peserta.
Penelitian lain dilakukan oleh Devina Eirene Mendrofa dan Chriswardani Suryawati dengan judul Analisis Pengelolaan Obat Pasien BPJS Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Panti Wilasa Citarum Semarang dalam Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia Vol. 4 No. 3 Desember 2016. Hasil penelitian tersebut menjelaskan beberapa persoalan yang dihadapi Rumah Sakit Panti wilasa Citarum dalam pengadaan obat bagi peserta JKN, di antaranya , Instalasi Farmasi Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum mengalami kesulitan dalam pengadaan obat BPJS yaitu e-catalogue yang tidak bisa diakses rumah sakit swasta, tidak semua jenis obat yang tersedia di e-catalog
dapat dibeli oleh rumah sakit dengan harga e-catalogue karena ketersediaan obat BPJS yang terbatas, tidak semua jenis obat di fornas tersedia di e-catalogue.
Kesulitan dalam pengadaan obat BPJS mempengaruhi pemberian obat yang dapat diberikan oleh rumah sakit kepada pasien BPJS. Kekosongan obat BPJS mengakibatkan instalasi farmasi menunda pembelian obat yang mengakibatkan pasien BPJS rawat jalan tertunda pemberian obatnya. Sedangkan untuk rawat inap apabila obat dengan harga e-catalogue tidak ada menyebabkan instalasi farmasi membeli obat dengan harga reguler yang jauh lebih mahal. Selain itu, pengiriman beberapa obat BPJS lebih lama dibandingkan dengan obat reguler karena adanya prosedur yang harus dilalui. Jumlah obat BPJS yang tersedia di distributor terbatas menyebabkan jumlah obat yang dipesan dan yang diterima tidak sama. Apabila rumah sakit tidak dapat membeli obat BPJS dengan cara manual e-catalogue, Instalasi Farmasi akan mencari obat dengan kandungan yang sama dengan harga yang dibeli rumah sakit bisa mendekati harga e-catalogue. Hal yang krusial lainnya adalah pembuatan Rencana Kebutuhan Obat (RKO) selama setahun terutama obat BPJS juga belum dilakukan oleh banyak rumah sakit swasta termasuk Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum.
Dari semua contoh ketidaktersediaan obat-obatan bagi pasien pesertea BPJS di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor menajerial adalah hal utama yang perlu dibenahi dari tahap perencanaan hingga pengawasan. Sehingga, tidak terbuka kemungkinan dana pengadaan obat disalahgunakan, keterlambatan obat, dan kerugian akibat klaim obat yang tak berlaku. Peserta JKN sudah melakukan kontrak dengan pemerintah untuk menjamin layanan kesehatannya melalui sistem asuransi, oleh karena itu hal paling penting seperti obat harus tersedia dan mudah diakses.
Ketersediaan obat ini sebagaimana dicatat oleh Satibi, Ranowijaya, Aswandi, Junagsti Bermalam, dan Gunawan Pamudji Widodo Analisis of Factors That Influence the Availability of Drugs During JKN Era dalam penelitiannya yang berjudul dimuat Indonesian Journal of Pharmacy pada 2017:
Available means ready of facilities (manpower, things needed, capital, budget) at certain time. So that availability means the degree of availability of drugs that can be used to conduct medicinal treatment in the health care unit. The availability of drugs in the primary health facility influenced by variable factors such as supply and using of drugs (Satibi, 2015).
Pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk memperbaiki sistem pengadaan obat bagi pasien JKN bukan hanya pemerintah yang mengambiul kebijakan, tetapi juga manajemen rumah sakit, dan apoteker harus dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan mengenai pengadaan obat. Penting bagi semua pihak yang terlibat dalam pengadaan obat tersebut untuk berkorelasi.
Sumber:
jkn.kemkes.go.id
cermati.com
Kompas.com
Indonesian Journal of Pharmacy, Oktober 2017.
Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia Vol. 4 No. 3 Desember 2016
Jurnal Sains dan Kesehatan Volume 1 Nomor 4 Tahun 2016